Moment

Kamis, 09 Juni 2016

Makalah Wacana Bahasa Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna).
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya apa itu wacana dan memahaminya supaya tidak terjadinya kesalah pahaman dalam pengertian wacana, maka dari itu kami menbahas topik wacana.
2.      Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam makalah ini, maka kami membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya:
  1. Pengertian wacana?
  2. Kedudukan Wacana?
  3. Macam – macam Wacana?









BAB II
PEMBAHASAN
  1. WACANA
Pengertian Wacana
Istilah Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, pamacan (pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Kata wacana secara umum mengacu pada artikel, percakapan, atau dialog, karangan, pernyataan. Jika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia maka wacana adalah bahan bacaan, percakapan atau tuturan. Kata wacana digunakan sebagai istilah yang merupakan padangan dari istilah discourse dalam bahasa Inggris.
  • Wacana, Discourse, Discursus
Oleh para ahli linguis Indonesia dan negara-negara berbahasa Melayu lainya, istilah wacana sebagai mana diuraikan diatas, dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahas Inggris ‘discourse’ (Dede Oetomo, 1993:3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’ yang berarti ‘lari ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini dituturkan dari ‘dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan ‘currere’ (lari). Jadi discursus berarti ‘lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal usul kata itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Dis + curere → discursus → discourse (wacana)
Webster (1983:522) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) Komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, (3) risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tulisan.
Unsur pembeda antara ‘bentuk wacana’ dengan ‘bentuk bukan wacana’ adalah pada ada tindakanya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karenanya, kriteria yang relatif paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Ketika seseorang di suatu warung makan mengatakan:
  1. “Soto, es jeruk, dua.”
Ucapan itu dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu tersirat dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2) makna dan amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan ditempat yang sesuai (kontekstual), dan 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna tuturan singkat tersebut (mutual intelligibility).
Selanjutnya, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
  1. Jaman sekarang disebut sebagai jaman modern. Sekarang ini banyak orang bingung tidak tahu jalan. Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk (2) di atas sangat jelas dan mudah dipahami. Bahkan, terdapat alat kohesi (repetisi) antar kalimat. Misalnya jaman sekarang – sekarang ini, tidak tahu jalan – jalan tol. Akan tetapi bentuk tersebut bukan wacana. Hal itu disebabkan, secara keseluruhan bentuk tadi tidak memiliki hubungan makna antar kalimat. Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya, makna kalimat tersebut satu sama lain terputus. Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit dimengerti kaitan makna antar kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.
Contoh tersebut kiranya menjelaskan apa yang dikatan para ahli bahasa tentang wacana. Anton M. Moeliono (1988:334), mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1985:184), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahas tertinggi dan terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk kata, karangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Adapun Samsuri (1988:1) memandang wacana dari segi komunikasi. Menurutnya dalam sebuah wacana, terdapat konteks wacana, topik, kohesi dan koherensi. Kohesi adalah adanya keterkaitan antar kalimat. Sedangkan Koherensi adalah adanya keterkaitan antar ide-ide atau gagaan-gagasan kalimat.
HG Tarigan (1987:27) mengemukakan wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
Jadi, wacana adalah susunan ujaran yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, saling berkaitan dengan koherensi dan kohesi berkesinambungan membentuk satu kesatuan untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
  • Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Dalam satuan kebahasaan atau hirarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurti Kridalaksana, 1984:334). Hal ini disebabkan wacana – sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi. Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat disamping itu, kajian wacana juga menganalisis makna dan konteks pemakaiannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan bagan dibawah ini.
   2.Bagan Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Bagan di atas menujukan bahwa semakin ke atas, satuan kebahasaan akan semakin besar (melebar). Artinya, satuan kebahasaan yang ada di bawah akan mencakup dan menjadi bagian dari satuan bahasa yang berada di atasnya. Demikian seterusnya, hingga mencapai unit ‘wacana’ sebagai satuan kebahasaan yang paling besar.
3.      Ragam Wacana
Pengelompokan wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat dari tujuan komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi. Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan. Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang telah disebutkan tadi.
  1. Jenis wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam wacana ini yang terlibat pembicaraan dalam berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana berdasarkan wacana jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicaraan, yaitu monolog, dialog, dan polilog.
  • Wacana Monolog
Pada wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Contoh dari wacana monolog adalah ceramah, pidato.
  • Wacana Dialog
Kemudian, apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicaraan menjadi pendengar atau sebaliknya), wacana yang dibentuknya disebut dialog. Contoh dari wacana dialog, adalah antara dua orang yang sedang mengadakan perbincangan di sekolah. Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
  • Wacana Polilog
Adapun apabila peserta dalam komunikasi itu lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, wacana yang dihasilkan disebut polilog. Contohnya adalah perbincangan antara beberapa orang dan mereka memiliki peran pembicaraan dan pendengar. Situasinya pun bisa resmi dan tidak resmi.
  1. Jenis wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana berdasarkan tujuan berkomunikasi, diantaranya wacana argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan kelima wacana tersebut.
  • Wacana Argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis dan emosional (Rottenberg, 1988:9). Argumentasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih jauh sebuah argumentasi berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti mengenai objek yang diargumentasikan itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari sudut proses berfikir adalah suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan menurunkan kesimpulan. Contoh wacana argumentasi adalah :
Namun, yang menjadi kekawatiran adalah adanya efek negatif akibat dosis vitamin dan mineral yang dikonsumsi secara berlebihan, terutama oleh mereka yang memiliki kondisi tubuh yang sehat. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa multivitamin tidak terbukti dapat mencegah timbulnya suatu penyakit dan suplemen vitamin juga tiadak bisa memperbaiki gizi yang buruk akibat pola makan yang sembarangan. Bahkan meminum jenis vitamin dan mineral dalam dosis tinggi dalam jangka waktu panjang bisa memicu resiko timbulnya penyakit tertentu. (Reader’s Digest Indonesia, Oktober 2004).
  • Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar bersangkutan memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek, misalnya menjelaskan pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi, pertumbuhan ekonomi kepada pembaca. Wacana ini juga menyajikan penjelasan yang akurat dan padu mengenai topik-topik yang rumit, seperti struktur negara atau pemerintahan, teori tentang timbulnya suatu penyakit. Ia juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya sesuatu, beroprasinya sebuah alat dan sebagainya. Contoh wacana eksposisi:
Agar diperoleh hasil maksimal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Sebelum melakukan pemutihan gigi, pasien perlu terlebih dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi harus bagus karena proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
  2. Selain itu juga diperhatikan apakah gigi tersebut masih aktif atau tidak.
  3. Setelah melakukan pembersihan gigi, baru dokter akan mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai (“Tampilkan Gigi Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
  • Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala daya upaya yang membuat mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Persuasi sesungguhnya merupakan penyimpangan dari argumentasi, dan khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Agar pendengar atau pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya akan apa yang dikatakannya itu. Persuasi lebih mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan aspek-aspek pesikologis untuk mempengaruhi orang lain. Jenis wacana persuasi yang paling sering kita temui adalah kampanye dan iklan. Contoh wacana iklan sebagai berikut.
“pakai Daia, lupakan yang lain. Dengan harga yang semurah ini, membersihkan tumpukan pakaian kotor Anda, menjadi lebih bersih cemerlang”.
  • Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu, sepertinya dapat dilihat, dibayangkan oleh pembaca, seakan-akan pembaca dapar melihat sendiri. Deskripsi memiliki fungsi membuat para pembacanya seolah melihat barang-barang atau objeknya. Sebuah diskripsi mengenai rumah diharapkan menyajikan banyak penampilan individu dan karakteristik dari rumah itu, dan beberapa aspek yang dapat dianalisis, seperti besarnya, materi konstruksinya, dan rancangan arsitekturnya. Secara singkat deskripsi bertujuan membuat para pembaca menyadari apa yang diserap penulis melalui panca indranya, merangsang perasaan pembaca mengenai apa yang digambarkan, menyajikan suatu kualitas pengalaman langsung. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indra kita, sebuah hamparan sawah yang hijau dan pemandangan yang indah, jalan-jalan kota, tikus-tikus selokan, wajah seorang yang cantik molek atau seseorang yang bersedih hati, alunan musik atau gelegar guntur dan sebagainya. Contoh:
Pada jeram pertama perahu besar berbalik arah, lalu memasuki jeram ketiga dengan bagian buritan terlebih dahulu, sampai akhirnya… brak! Perahu menghantam batu besar seukuran 4 x 3 meter, dan menempel pada batu dalam keadaan miring. (“Jeram Maut,” Reader’s Digest Indonesia¸Oktober 2004).
  • Wacana Narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Pada wacana narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting, seperti waktu, pelaku, peristiwa. Adanya aspek emosi yang dirasakan oleh pembaca atau penerima. Melalui narasi, pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra atau imajinasi. Contoh wacana narasi:
Sewaktu aku duduk di ruang pengadilan yang penuh sesak itu, menunggu perkaraku disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya berapa banyak orang-orang hari ini di sini yang merasa, seperti apa yang kurasakan bingung, patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa seolah-olah aku memikul beban berat seluruh dunia di pundaku.

  1. Jenis wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, bisa dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana tulisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskripkan dari rekaman bahasa lisan. Adapun wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam tulis. Adapun contoh wacana lisan, misalnya percakapan, khotbah (spontan), dan siaran langsung di radio atau TV. Sedangkan wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah.
4.      ALAT-ALAT PEMBENTUK WACANA
Alat-alat pembentuk wacana merupakan unsur-unsur yang membangun atau membentuk wacana. Alat-alat pembentuk wacana itu juga disebut elemen-elemen wacana. Perhatikan contoh wacana berikut.
Cara Mudah Melawan Sters
  1. Kalau pikiran sedang jenuh, cobalah berjalan-jalan di taman. Jika anda suka, berkebunlah. Hasil penelitian menunjukan bahwa bercengkraman dengan bunga-bunga dan tanaman akan mampu meredam stres, rasa cemas, dan kegelisahan, serta membangkitkan rasa bahagia.
  2. Tidur, merupakan kesempatan terbaik bagi otak dan tubuh untuk beristirahat. Pastikan anda cukup tidur malam, apabila tidak bisa coba penuhi dengan tidur siang atau sekedar beristirahat di meja kerja anda. Tutup pintu, matikan lampu, dan pejamkan mata, bayangkan anda berada di tempat yang tenang, damai, dan indah.
  3. Setelah itu hadapi setres dengan belajar dan belajar. Mungkin saat sekolah kita sering merasa pusing belajar, tetapi ternyata jika Anda sudah bekerja, kegiatan belajar bisa jadi “pelarian” yang menyenangkan. Menurut American Jurnal of Health Promotion, mengambil kursus-kursus selain memperluas wawasan berfikir juga meningkatkan kesehatan jiwa.
  4. Dari pada mengeluh, lebih baik Anda melihat segala sesuatu dari sisi positifnya. Mereka yang percaya pada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia, biasanya mampu melewati badai dalam hidupnya dengan lebih baik (diambil dari Majalah Fit9/VII/September 2003).
Elemen-elemen yang terdapat dalam teks wacana contoh diatas, elemen yang pertama adalah judul teks. Elemen kedua adalah tubuh teks. Tubuh teks terdiri dari 4 elemen, yaitu paragraf 1, paragraf 2, paragraf 3, dan paragraf 4. Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut.
Bila wacana itu kohesif, akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar.Kekohensifan wacana itu dilakukan dengan mengulang kata pembaruan pada kalimat (1) dengan kata pembaruan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan kalimat (3). Adanya pengulangan unsur yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi koherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat terbentunya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain.
  1. Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubungan antar kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misal diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
  1. Raja sakit dan permaisuri meninggal.
  2. Raja sakit karena permaisuri meninggal.
  3. Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
  4. Raja sakit sebelum permaisuri meninggal.
  5. Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
  6. Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal
  7. Mengunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforsis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforsis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan diganti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
  8. Mengunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan baebagai aspek semantik. Caranya, antara lain:
  1. Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
  2. Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
  3. Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa berbicara.
  4. Menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya spesifik – generik. Misalnya:
  5. Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
  6. Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu istirahat.
  7. Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
  8. Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
5.ANALISIS WACANA
Seperti dikatakan Stubbs (1983:1), analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah adalah bahwa penggunaan bahasa, seperti dalam komunikasi sehari-hari. Data dalam wacana dapat berupa teks, baik teks lisan, maupun teks tulis. Teks merujuk pada bentuk rangkaian kalimat atau ujaran. Istilah kalimat digunakan dalam ragam bahasa tulis, sedangkan ujara digunakan untuk mangacu pada kalimat dalam ragam bahasa lisan.
Dalam analisi wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik maupun konteks nonlinguistik. Konteks non linguistik yang erupakan koteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan. Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Konteks yang diperhatikan adalah yang paling relevan saja dengan situasi yang sedang berlangsung karena pengalaman terdahulu sudah cukup membantu untuk memahami wacana.
Dalam analisis wacana juga terdapat istilah kohesi dan koherensi. Istilah tersebut telah dibahas secara sekilas di awal. Kohesi mengacu pada hubungan antar bagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Untuk menghubungkan informasi antar kalimat. Contoh kata yang digunakan, seperti kata selain, sebab, ini, itu, dan. Koherensi adalah kepaduan gagasan antar bagian dalam wacana. Dalam sebuah wacana pada tiap kalimatnya terdapat gagasan.
















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.
Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis.







DAFTAR PUSTAKA
Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Douglas, Mc. 1976. Sanskrit Dictionary. New York: Columbia University.
Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: Grasindo.
Kridaklaksana, Harimurti. 1978. “Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra th. IV No.1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——-. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
——-. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Oetomo, Dede. 1993. “Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius.
Rosdiana, Yusi., dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rottenberg, Annette T. 1988. Elements of Arguments: A Text and Reader. New York: A Bedford Books ST. Martin’s Press
Samsuri. 1988. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Makalah Al-Qur'an Hadist



KATA PENGANTAR
Assalmu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyuusunan makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang. Terimakasih sebelumnya.

Wassalamu’alaiku Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Penulis











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.......................................................................................... 3
Rumusan Masalah..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
a.       Pengertian Al-Qur’an............................................................................ 4
b.      Pengertian Hadis................................................................................... 6
c.       Kedudukan Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman……...8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Keistimewaan Al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab suci yang lain ialah kemurnian atau keaslian Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, agar tidak ada satupun ayat-Nya yang berubah. Sebagaimana ditgaskan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami pula-lah yang menjaganya”.

Dari Al-Qur’an pula ilmu-ilmu pengetahuan berkembang, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Sedangkan Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Fungsi hadis itu sendiri ialah sebagai penjelas apa yang ada dalam al-Qur’an. Jadi, kedudukan Hadis dalam bidang studi keislaman ialah menjelaskan secara terperinci apa yang ada di dalam al-Qur’an. Merupakan fungsi hadis lainnya ialah sebaga bukti atas ke-Rasulan Nabi Muhammad SAW .Pada makalah ini kami tidak menjelaskan kedudukan hadis dalam studi keIslaman, karena sudah sama-sama diketahui bahwa fungsi hadis itu sendiri ialah menjelaskan secara lebih terperinci dari ayat-ayat al-Qur’an.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Al-Quran?
2.      Pengertian Hadis?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Qur’an
Qara’a memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan Qira’ah, yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari Qara’a, Qira’atan, waqur’anan. Allah menjelaskan,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْ نَهُ فَتَّبِعْ قُرْءَا نَهُ(18)
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Al-Qiyamah: 17-18).
Qur’anah disini berarti qira’ah( bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah akar kata (masdar) menurut wazan (tasrif) dari kata fu’lan seperti “ghufran” dan “syukron”. Al-Qur’an adalah kitab yang berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang tidak terputus atau tawattur.
Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri. Dan sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka jika mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Qur’an.[1]
“Dan apabila Al-Qur’an itu dibacakan, maka dengarlah bacaannya dan diamlah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Al-A’raf: 204).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam memiliki banyak fungsi antara lain, sebagai bukti atas kerasulan Muhammad SAW, Sebagai pedoman hidup manusia untuk membedakan yang hak dan yang batil (Al-Furqan). Dapat menjadi peringatan (Al-Dzikr) manakala manusia lalai dalam menjalankan syariat yang dititahkan Tuhan, dapat menjadi pemberi keterangan penjelasan (bayyin) ketika manusia mengalami kebuntuan dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi, dan sebgai petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariat, dan akhlak.[2]
Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia. Banyak dalil-dalil yang secara mutawatir diriwayatkan berkaitan dengan masalah ini, baik dari al-Qur’an maupun dari hadis, di antaranya,
“Katakanlah (hai Muhammad); Hai sekalian manusia! Sesungguhnya Aku adalah pesuruh Allah kepada kamu semua, (diutus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang menghidupkan dan mematikan. Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalmat-kalimatNya (kitab-kitabNya); ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.”(Al-A’raf: 158)
Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara penyampaian yang mutawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau perubahan apapun. Di antara gambaran tentang Jibril yang membawanya turun ialah, “Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibril yang amanah.” (Asy-Syu’ara’: 193)
Gambaran lainnya juga tentang Al-Qur’an,
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah (yang disampaikan oleh Jibril) Utusan yang mulia. Yang kuat, gagah, lagi berkedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arasy. Yang ditaati disana (dalam kalangan malaikat), dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi Muhammad) itu (wahai golongan yang menentang Islam), bukanlah orang gila (seperti yang kamu tuduh); Dan (Nabi Muhammad yakin bahwa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan di sangka buruk, tentang penyampaiannya mengenai perkara-perkara yang gaib.” (At-Takwir: 19-24)
“Bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, (yang senantiasa memberi ajaran dan pimpinan), yang tersimpan dalam kitab yang cukup terpelihara, yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih dan suci.”(Al-Waqi’ah: 77-79)[3]

B.     Pengertian Hadis
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis. Hadis dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut diatas dapat di lihat pada beberapa ayat al-qur’an, seperti QS. Al-Thur (52) : 34, QS. Al-Kahfi (18) : 6, dan QS. Al-Dhuha (93) : 11. Demikian pula dapat dilihat pada hadis berikut
يُو شِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُولَ هَذَا كِتَابُ أللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ مَنْ بَلَغَهُ عَنِّي حَدِيْثٌ فَكَذَبَ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ بِهِ ثَلاَثَةً, اللَّهُ وَ رَسُوْلَهُ وَالَّذِي حَدَثَ بِهِ
“Hampir-hampir ada seseorang diantara kamu yang akan mengatakan “ini kitab Allah” apa yang halal didalamnya kami halalkan dan apa yang diharamkan didalamnya kami haramkan. Ketahuilah barang siapa yang sampai kepadanya suatu hadis dariku kemudian dia mendustakannya, berati ia telah mendustakan tiga pihak, yakni Allah, Rasul, dan orang yang menyampaikan hadis tersebut”. [4]
Secara umum fungsi Hadis adalah untuk menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang sangat dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan). Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) Hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut[5]:
a.       Posisi hadis  memperkuat keterangan al-Qur’an (ta’kid).
b.      Hadis sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an. Penjelasan yang diberikan ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global (tafsil al-mujmal)
2.       Hadis mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang umum (takhshish al-‘amm)
3.      Membatasi kemut’lakan ayat al-Qur’an (taqyid al-muthlaq)
c.       Hadis mencabang dari pokok dalam al-Qur’an (tafri’ ‘ala al-ashl)
d.      Menciptakan hukum syari’at (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an, disebut bayan tasyri’
1.      Bentuk-bentuk Hadis
a.       Hadis Qauli : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan akidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya.
b.      Hadis Fi’li : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.
c.       Hadis Taqriri : segala hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya.
d.      Hadis Hammi : hadis yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealsasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
e.       Hadis Ahwali : hadis yang berpa hal ihwal Nabi SAW yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.[6]
Ada beberapa istilah lain yang merupakan sinonim dari kata hadis, yaitu sunah, khabar, dan atsar.[7]
a.       Sunah : menurut bahasa adalah (al-sirah) yang artinya perjalanan atau sejarah baik atau buruk masih bersifat umum. Perbedaan hadis dan sunah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baharu sekali dikerjakan atau bahkan masih berupa azam (hadis wahmi) menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunah. Sunah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rasul.
b.      Khabar : menurut bahasa diartikan al-naba atau berita. Dari segi istilah muhadditsin identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (baik secara marfu’ atau mawaquf dan atau maqthu’) baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Mayoritas ulama mengkhususkan hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedang Khabar sesuatu yang datang dari padanya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi, dan lain-lain. Dengan demikian khabar lebih umum daripada hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak sebaliknya.
c.       Atsar : menurut bahasa atsar diartikan peninggalan Nabi atau bekas sesuatu maksudnya peninggalan nabi atau diartikan al-manqul (yang dipindahkan dari Nabi). Jadi, Atsar lebih umum daripada Khabar, karena Atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain, sedangkan Khabar adalah berita yang datang dari Nabi atau sahabat, sedangkan Atsar adalah yang datang dari Nabi atau dari sahabat, dan yang lain.[8]

C.     Kedudukan Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman
Dengan adanya Al-Qur’an, maka muncullah berbagai ilmu pengetahuan Islam. Karena ingin memahami isi kandungan Al-Qur’an, orang menciptakan ilmu Tafsir. Karena ingin mengerti maksud Al-Qur’an, orang bertanya pada Nabi Muhammad. Dan ucapan (penjelasan), atau perbuatan Nabi, atau penetapannya menjadi penjelasan maksud Al-Qur’an. Dengan demikian, muncul ilmu Hadis. Karena ingin mebaca al-Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidah bahasa Arab, muncullah ilmu Nahwu/Sharaf. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an, seperti yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab, terdapat jiwa ayat-ayat yang mendorong terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu agama.
1.      Teologi Islam
Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terlihat dar keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul dikalangan masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa  pada semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Theologi terkadang dinamai pula Ilmu Tauhid, Ilmu Usluhuddin, Ilmu Aqaid dan Ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu usluhuddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai ilmu Aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapakan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan. [9]
Firman Allah SWT :
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا أمِنُوْا بِاللَّهِ وَ رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ° وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَ مَلَآئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَا لاً بَعِيْدًا . (النساء : 136)
“Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab terdahulu. Baang siapa yang kafir kepada  Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemdian maka sesungguhnya orng itu telah sesat jalan sejauh-jauhnya”. (Q.S al-Nisa, 4 : 136).[10]
2.      Ilmu Hukum (fiqh)
Fiqih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah Shalat, puasa, haji, dan sebagainya.[11]
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang sempurna dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman utama, bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.[12]
3.      Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.[13]
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh langsung hubungan dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada dihadirat Tuhan. Paham bahwa Tuhan dekat dengan menusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya mengatakan,
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ (البقرة : 186)
“jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil ia panggil Aku”.
Ayat 115 dari surat Al-Baqarah juga mengatakan :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة : 115)
“Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling dari situ (kamu jumpai) wajah Allah”.
Lebih tegas lagi dinyatakan dalam surat Qaf ayat 16 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَارِيْدِ. (ق:16)
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri”.
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber bagi disiplin ilmu tasawuf.[14]
4.      Filsafat Islam
Filsafat islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadis secara tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya. Dari kedua kelompok tersebut nampak bahwa kelompok terakhir masih cukup kuat pengaruhnya di masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama. Kajian filsafat islam baru dilakukan sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke 20 ini. Sedangkan pada masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan pesantren, pemikiran filsafat masih dianggap terlarang, karena dapat melemahkan iman. Kalaupun di pesantren diajarkan logika, yang pada hakikatnya merupakan ilmu yang mengajarkan cara berpikir filosofis, namun hal ini tidak diterapkan, melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan.[15]
Dari segi bahasa, filsafat islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah.Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya kata islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur’an dan hadis.
Filsafat islam dapat diketahui melalui lima cirinya yaitu. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat islam berdasar pada ajaran islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan hadis. Dengan sifatnya yang demikian itu, filsafat islam berbeda dengan filsafat yunani atau filsafat barat yang pada umumnya semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang selanjutnya disebut bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia , kehidupan di akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya, kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat islam sejalan dengan perkembangan ajaran islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis, Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn-Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan islam dan pendidikan islam.[16]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri. Dan sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka jika mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Qur’an.
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.











DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006


[1] Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
[2] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44
[3] Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Op. Cit., h.12 & 14
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993, h.1-2
[5] Achmad Gholib, Op. Cit., h.102-104
[6] Munzier Suparta, Op. Cit., h.18-22
[7] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta: Faza Media: 2006, cet ke-6, h.98-99
[8] Achmad Gholib, Ibid., h.100
[9] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT  RajaGrafindo Persada, 2006, h. 267-269
[10] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.142
[11] Ibid, h.295
[12] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2005, cet-2, h.71.
[13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 283
[14] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.144-145
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.251
[16] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.254-257