Moment

Kamis, 09 Juni 2016

Makalah Wacana Bahasa Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna).
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya apa itu wacana dan memahaminya supaya tidak terjadinya kesalah pahaman dalam pengertian wacana, maka dari itu kami menbahas topik wacana.
2.      Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam makalah ini, maka kami membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya:
  1. Pengertian wacana?
  2. Kedudukan Wacana?
  3. Macam – macam Wacana?









BAB II
PEMBAHASAN
  1. WACANA
Pengertian Wacana
Istilah Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas, 1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca yang artinya ‘membaca’, pamacan (pembacaan), ang/mawacana (berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana yang artinya ‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks kalimat bahasa Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana dhara” (Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Kata wacana secara umum mengacu pada artikel, percakapan, atau dialog, karangan, pernyataan. Jika kita membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia maka wacana adalah bahan bacaan, percakapan atau tuturan. Kata wacana digunakan sebagai istilah yang merupakan padangan dari istilah discourse dalam bahasa Inggris.
  • Wacana, Discourse, Discursus
Oleh para ahli linguis Indonesia dan negara-negara berbahasa Melayu lainya, istilah wacana sebagai mana diuraikan diatas, dikenalkan dan digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahas Inggris ‘discourse’ (Dede Oetomo, 1993:3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’ yang berarti ‘lari ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini dituturkan dari ‘dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan ‘currere’ (lari). Jadi discursus berarti ‘lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal usul kata itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Dis + curere → discursus → discourse (wacana)
Webster (1983:522) memperluas makna discourse sebagai berikut: (1) Komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, (3) risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan maupun tulisan.
Unsur pembeda antara ‘bentuk wacana’ dengan ‘bentuk bukan wacana’ adalah pada ada tindakanya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh karenanya, kriteria yang relatif paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Ketika seseorang di suatu warung makan mengatakan:
  1. “Soto, es jeruk, dua.”
Ucapan itu dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu tersirat dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2) makna dan amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan ditempat yang sesuai (kontekstual), dan 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna tuturan singkat tersebut (mutual intelligibility).
Selanjutnya, mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
  1. Jaman sekarang disebut sebagai jaman modern. Sekarang ini banyak orang bingung tidak tahu jalan. Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk (2) di atas sangat jelas dan mudah dipahami. Bahkan, terdapat alat kohesi (repetisi) antar kalimat. Misalnya jaman sekarang – sekarang ini, tidak tahu jalan – jalan tol. Akan tetapi bentuk tersebut bukan wacana. Hal itu disebabkan, secara keseluruhan bentuk tadi tidak memiliki hubungan makna antar kalimat. Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya, makna kalimat tersebut satu sama lain terputus. Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit dimengerti kaitan makna antar kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.
Contoh tersebut kiranya menjelaskan apa yang dikatan para ahli bahasa tentang wacana. Anton M. Moeliono (1988:334), mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1985:184), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahas tertinggi dan terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk kata, karangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Adapun Samsuri (1988:1) memandang wacana dari segi komunikasi. Menurutnya dalam sebuah wacana, terdapat konteks wacana, topik, kohesi dan koherensi. Kohesi adalah adanya keterkaitan antar kalimat. Sedangkan Koherensi adalah adanya keterkaitan antar ide-ide atau gagaan-gagasan kalimat.
HG Tarigan (1987:27) mengemukakan wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
Jadi, wacana adalah susunan ujaran yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, saling berkaitan dengan koherensi dan kohesi berkesinambungan membentuk satu kesatuan untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
  • Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Dalam satuan kebahasaan atau hirarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurti Kridalaksana, 1984:334). Hal ini disebabkan wacana – sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi. Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti fonem, morfem, frasa, klausa, atau kalimat disamping itu, kajian wacana juga menganalisis makna dan konteks pemakaiannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan bagan dibawah ini.
   2.Bagan Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Bagan di atas menujukan bahwa semakin ke atas, satuan kebahasaan akan semakin besar (melebar). Artinya, satuan kebahasaan yang ada di bawah akan mencakup dan menjadi bagian dari satuan bahasa yang berada di atasnya. Demikian seterusnya, hingga mencapai unit ‘wacana’ sebagai satuan kebahasaan yang paling besar.
3.      Ragam Wacana
Pengelompokan wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat dari tujuan komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi. Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan. Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang telah disebutkan tadi.
  1. Jenis wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam wacana ini yang terlibat pembicaraan dalam berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana berdasarkan wacana jumlah peserta yang ikut ambil bagian sebagai pembicaraan, yaitu monolog, dialog, dan polilog.
  • Wacana Monolog
Pada wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan secara langsung atas ucapan pembicara. Pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Contoh dari wacana monolog adalah ceramah, pidato.
  • Wacana Dialog
Kemudian, apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicaraan menjadi pendengar atau sebaliknya), wacana yang dibentuknya disebut dialog. Contoh dari wacana dialog, adalah antara dua orang yang sedang mengadakan perbincangan di sekolah. Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
  • Wacana Polilog
Adapun apabila peserta dalam komunikasi itu lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, wacana yang dihasilkan disebut polilog. Contohnya adalah perbincangan antara beberapa orang dan mereka memiliki peran pembicaraan dan pendengar. Situasinya pun bisa resmi dan tidak resmi.
  1. Jenis wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana berdasarkan tujuan berkomunikasi, diantaranya wacana argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan kelima wacana tersebut.
  • Wacana Argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis dan emosional (Rottenberg, 1988:9). Argumentasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Lebih jauh sebuah argumentasi berusaha mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti mengenai objek yang diargumentasikan itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari sudut proses berfikir adalah suatu tindakan untuk membentuk penalaran dan menurunkan kesimpulan. Contoh wacana argumentasi adalah :
Namun, yang menjadi kekawatiran adalah adanya efek negatif akibat dosis vitamin dan mineral yang dikonsumsi secara berlebihan, terutama oleh mereka yang memiliki kondisi tubuh yang sehat. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa multivitamin tidak terbukti dapat mencegah timbulnya suatu penyakit dan suplemen vitamin juga tiadak bisa memperbaiki gizi yang buruk akibat pola makan yang sembarangan. Bahkan meminum jenis vitamin dan mineral dalam dosis tinggi dalam jangka waktu panjang bisa memicu resiko timbulnya penyakit tertentu. (Reader’s Digest Indonesia, Oktober 2004).
  • Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar bersangkutan memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek, misalnya menjelaskan pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi, pertumbuhan ekonomi kepada pembaca. Wacana ini juga menyajikan penjelasan yang akurat dan padu mengenai topik-topik yang rumit, seperti struktur negara atau pemerintahan, teori tentang timbulnya suatu penyakit. Ia juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya sesuatu, beroprasinya sebuah alat dan sebagainya. Contoh wacana eksposisi:
Agar diperoleh hasil maksimal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Sebelum melakukan pemutihan gigi, pasien perlu terlebih dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi harus bagus karena proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
  2. Selain itu juga diperhatikan apakah gigi tersebut masih aktif atau tidak.
  3. Setelah melakukan pembersihan gigi, baru dokter akan mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai (“Tampilkan Gigi Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
  • Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala daya upaya yang membuat mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Persuasi sesungguhnya merupakan penyimpangan dari argumentasi, dan khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau para pembaca. Agar pendengar atau pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya akan apa yang dikatakannya itu. Persuasi lebih mengutamakan untuk menggunakan atau memanfaatkan aspek-aspek pesikologis untuk mempengaruhi orang lain. Jenis wacana persuasi yang paling sering kita temui adalah kampanye dan iklan. Contoh wacana iklan sebagai berikut.
“pakai Daia, lupakan yang lain. Dengan harga yang semurah ini, membersihkan tumpukan pakaian kotor Anda, menjadi lebih bersih cemerlang”.
  • Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu, sepertinya dapat dilihat, dibayangkan oleh pembaca, seakan-akan pembaca dapar melihat sendiri. Deskripsi memiliki fungsi membuat para pembacanya seolah melihat barang-barang atau objeknya. Sebuah diskripsi mengenai rumah diharapkan menyajikan banyak penampilan individu dan karakteristik dari rumah itu, dan beberapa aspek yang dapat dianalisis, seperti besarnya, materi konstruksinya, dan rancangan arsitekturnya. Secara singkat deskripsi bertujuan membuat para pembaca menyadari apa yang diserap penulis melalui panca indranya, merangsang perasaan pembaca mengenai apa yang digambarkan, menyajikan suatu kualitas pengalaman langsung. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang bisa ditangkap dengan panca indra kita, sebuah hamparan sawah yang hijau dan pemandangan yang indah, jalan-jalan kota, tikus-tikus selokan, wajah seorang yang cantik molek atau seseorang yang bersedih hati, alunan musik atau gelegar guntur dan sebagainya. Contoh:
Pada jeram pertama perahu besar berbalik arah, lalu memasuki jeram ketiga dengan bagian buritan terlebih dahulu, sampai akhirnya… brak! Perahu menghantam batu besar seukuran 4 x 3 meter, dan menempel pada batu dalam keadaan miring. (“Jeram Maut,” Reader’s Digest Indonesia¸Oktober 2004).
  • Wacana Narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Pada wacana narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting, seperti waktu, pelaku, peristiwa. Adanya aspek emosi yang dirasakan oleh pembaca atau penerima. Melalui narasi, pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra atau imajinasi. Contoh wacana narasi:
Sewaktu aku duduk di ruang pengadilan yang penuh sesak itu, menunggu perkaraku disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya berapa banyak orang-orang hari ini di sini yang merasa, seperti apa yang kurasakan bingung, patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa seolah-olah aku memikul beban berat seluruh dunia di pundaku.

  1. Jenis wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, bisa dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana tulisan adalah rangkaian kalimat yang ditranskripkan dari rekaman bahasa lisan. Adapun wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam tulis. Adapun contoh wacana lisan, misalnya percakapan, khotbah (spontan), dan siaran langsung di radio atau TV. Sedangkan wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah.
4.      ALAT-ALAT PEMBENTUK WACANA
Alat-alat pembentuk wacana merupakan unsur-unsur yang membangun atau membentuk wacana. Alat-alat pembentuk wacana itu juga disebut elemen-elemen wacana. Perhatikan contoh wacana berikut.
Cara Mudah Melawan Sters
  1. Kalau pikiran sedang jenuh, cobalah berjalan-jalan di taman. Jika anda suka, berkebunlah. Hasil penelitian menunjukan bahwa bercengkraman dengan bunga-bunga dan tanaman akan mampu meredam stres, rasa cemas, dan kegelisahan, serta membangkitkan rasa bahagia.
  2. Tidur, merupakan kesempatan terbaik bagi otak dan tubuh untuk beristirahat. Pastikan anda cukup tidur malam, apabila tidak bisa coba penuhi dengan tidur siang atau sekedar beristirahat di meja kerja anda. Tutup pintu, matikan lampu, dan pejamkan mata, bayangkan anda berada di tempat yang tenang, damai, dan indah.
  3. Setelah itu hadapi setres dengan belajar dan belajar. Mungkin saat sekolah kita sering merasa pusing belajar, tetapi ternyata jika Anda sudah bekerja, kegiatan belajar bisa jadi “pelarian” yang menyenangkan. Menurut American Jurnal of Health Promotion, mengambil kursus-kursus selain memperluas wawasan berfikir juga meningkatkan kesehatan jiwa.
  4. Dari pada mengeluh, lebih baik Anda melihat segala sesuatu dari sisi positifnya. Mereka yang percaya pada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia, biasanya mampu melewati badai dalam hidupnya dengan lebih baik (diambil dari Majalah Fit9/VII/September 2003).
Elemen-elemen yang terdapat dalam teks wacana contoh diatas, elemen yang pertama adalah judul teks. Elemen kedua adalah tubuh teks. Tubuh teks terdiri dari 4 elemen, yaitu paragraf 1, paragraf 2, paragraf 3, dan paragraf 4. Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut.
Bila wacana itu kohesif, akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar.Kekohensifan wacana itu dilakukan dengan mengulang kata pembaruan pada kalimat (1) dengan kata pembaruan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan kalimat (3). Adanya pengulangan unsur yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi koherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat terbentunya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif antara lain.
  1. Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubungan antar kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misal diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
  1. Raja sakit dan permaisuri meninggal.
  2. Raja sakit karena permaisuri meninggal.
  3. Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
  4. Raja sakit sebelum permaisuri meninggal.
  5. Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
  6. Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal
  7. Mengunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforsis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforsis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan diganti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
  8. Mengunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan baebagai aspek semantik. Caranya, antara lain:
  1. Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
  2. Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
  3. Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa berbicara.
  4. Menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya spesifik – generik. Misalnya:
  5. Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
  6. Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu istirahat.
  7. Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
  8. Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
5.ANALISIS WACANA
Seperti dikatakan Stubbs (1983:1), analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah adalah bahwa penggunaan bahasa, seperti dalam komunikasi sehari-hari. Data dalam wacana dapat berupa teks, baik teks lisan, maupun teks tulis. Teks merujuk pada bentuk rangkaian kalimat atau ujaran. Istilah kalimat digunakan dalam ragam bahasa tulis, sedangkan ujara digunakan untuk mangacu pada kalimat dalam ragam bahasa lisan.
Dalam analisi wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik maupun konteks nonlinguistik. Konteks non linguistik yang erupakan koteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan. Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Konteks yang diperhatikan adalah yang paling relevan saja dengan situasi yang sedang berlangsung karena pengalaman terdahulu sudah cukup membantu untuk memahami wacana.
Dalam analisis wacana juga terdapat istilah kohesi dan koherensi. Istilah tersebut telah dibahas secara sekilas di awal. Kohesi mengacu pada hubungan antar bagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Untuk menghubungkan informasi antar kalimat. Contoh kata yang digunakan, seperti kata selain, sebab, ini, itu, dan. Koherensi adalah kepaduan gagasan antar bagian dalam wacana. Dalam sebuah wacana pada tiap kalimatnya terdapat gagasan.
















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.
Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis.







DAFTAR PUSTAKA
Anton M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Douglas, Mc. 1976. Sanskrit Dictionary. New York: Columbia University.
Keraf, Gorys. 1995. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: Grasindo.
Kridaklaksana, Harimurti. 1978. “Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra th. IV No.1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——-. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
——-. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Oetomo, Dede. 1993. “Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius.
Rosdiana, Yusi., dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rottenberg, Annette T. 1988. Elements of Arguments: A Text and Reader. New York: A Bedford Books ST. Martin’s Press
Samsuri. 1988. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar