Moment

Rabu, 18 Mei 2016

Makalah Aliran Maturidiyah Ilmu Kalam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Penelusuran pengalaman historis masa lampau menemukan bahwa persoalan kalam di dunia Islam muncul dari suasana perbedaan politik. Setiap persoalan kalam muncul, lahir pula beberapa pendapat dan paham saling berbeda, yang serta merta membentuk aliran kalam.Muncul dari suasana perbedaan, ilmu kalam nampaknya terus berkembang dinamis di dalam arus perbedaan berkesinambungan.
Sejak perkembangannya yang mula-mula, perbedaan persepsi bahkan pertentangan paham dalam ilmu kalam sudah biasa terjadi, dan tampaknya akan tetap selalu terjadi didalam dinamika pemikiran Islam. Ini merupakan suatu fenomena ilmiah yang wajar, sesuai dengan hakikat perkembangan umat manusia itu sendiri, yang secara fitri cenderung berbeda. Sehingga dunia kalam kaya dengan berbagai aliran dan corak pemikiran.
 Aliran-aliran ini seakan terlahir dalam lingkaran dialektika, yang muncul dari proses tesa, antitesa, dan sintesa, atau bergerak secara alami dalam dinamika aksi, reaksi, dan kompromi. Seperti terlihat, aksi Khawarij mengundang reaksi Murji’ah dan lahir upaya kompromi atau jalan tengah Muktazilah, lalu mengundang reaksi Asy’ariyah dan akhirnya melahirkan upaya kompromi Maturidiyah. Demikian pula aksi Qodariah melahirkan reaksi Jabariyah.




B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah aliran maturidiyah itu ?
2.      Tokoh-tokoh aliran maturidiyah
3.      Ajaran aliran maturidiyah















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1] Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
B.     Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
C.    Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. Sesuai dengan firman Allah Swt. berikut:
ARTINYA ”Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45: 13)[2]
Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran yakni:
1.      Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam. Misalnya, ia menginterpretasikan firman Allah Swt.:
Artinya: “Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy…”(QS. Al-A’raf, 7:54)[21]. Ia menafsirkan dengan makna alternatif, yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
Menurut pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat Allah Swt. hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
2.      Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firman Allah
Artinya: “ Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus.
Maka dari itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
3.      Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagaimana Dia telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)
Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
1.      Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.[3]
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
2.      Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-hujurat 14:
Artinya: “orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 14)
Ayat tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
3.      Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
4.      Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.  Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
5.      Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
6.      Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil. Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
7.      Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
D.    Sekte-sekte atau Aliran-Aliran Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1.      Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.      Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.
E.     Tokoh tokoh aliran Maturidiyah
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi. Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
1.      Riwayat singkat Abu Al-Yusr Muhammad Al-Badzawi
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
Tokoh Maturidiyyah Bukhara adalah Abu Al Yurs Muhammad Al Bazdawi. Menurut Smani Bazdawi lahir pada tahun 421 H. {tidak diketahui dimana dilahirkan}. Kakek bazdawi adalah murid Maturidi,  Bazdawi mempelajari ajaran-ajaran Maturidi dari  orang tuanya. Tidak diketahui dengan pasti di kota-kota mana Bazdawi bermukim,kecuali  disebutkan bahwa ia berada di Bukhara  pada tahun 478 H / 1085 M, menjadi godhi di Samarkand pada tahun 481 H /1088 M. wafat di Bukhara pada tahun 493 H / 1099 M. Ia adalah tokoh ulama yang dalam bidang fiqh bermadzhab Hanaf
Pokok-Pokok Pemikiran Al Bazdawi
1.      Kemampuan Akal Manusia
Dalam hal ini Bazdawi sepaham dengan Maturidi yaitu akal mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kendati demikian sebelum datangnya keterangan wahyu, tidaklah ada kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadanya, serta tidak ada kewajiban untuk mengerjakan perbuatan baik atau menjadi perbuatan jahat. Kewajiban-kewajiban kata bazdawi ditentukan hanya oleh tuhan dan ketentuan-ketentuan itu dapat diketahui melalui wahyu.
2.      Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi membedakan dengan jelas antara perbuatan Tuhan (Maf’ul) dengan perbuatan manusia (Fi’l). menurut al bazdawi perbuatan tuhan itu adalah menciptakan perbuatan manusia; sedangkan perbuatan manusia (daya) itu adalah melakukan perbuatan Tuhan.  Al Bazdawi dalam hal ini mengambil contoh tentang duduk. Duduk adalah ciptaan Tuhan, namun melakukan hal itu perwujudan daya manusia dalam bentuk perbuatan. Jadi duduknya manusia pada suatu tempat duduk itu hakekatnya melakukan perbuatan ciptaan Tuhan dan merupakan perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini al Bazdawi (Maturidi Bukhara) tidak berbeda pendapat dengan Abu Mansur (Maturidi Samarkand).
Mengenai pendapat ini bazdawi dikritik oleh pihak lain. Dengan kritik ini bazdawi menjadi ragu-ragu dalam mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya. Akhirnya lagi-lagi golongan maturidiyah bukhara daya manusia tidaklah efektif dalam mewujudkan perbuatannya, seperti halnya juga dikatakan Asy’ari.
3.      Kehendak dan Kekuasaan Tuhan
Bazdawi menegaskan bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki Nya dan menentukan segala-gala Nya, menurut kehendak Nya. Dan Tuhan pasti memenuhi wa’adNya yakni memenuhi janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Al Bazdawi dalam hal ini berpendapat : Tuhan tidak mungkin tidak memenuhi janjiNya  kepada manusia yang berbuat baik dan tidak mungkin pula meninggalkan ancamanNya terhadap yang berbuat jahat. Karena tidak mungkin, maka dengan kata lain Tuhan menjadi wajib memenuhi janji dan ancamanNya.
4.      Sifat-sifat Tuhan
Menurut Bazdawi sifat-sifat tuhan itu kekal melalui kekuatan yang terdapat dalam dzat Nya, dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri. Tuhan bersama sifat-sifat-Nya kekal, tapi sifat-sifat itu tidaklah kekal karena diri mereka.
5.      Ayat-ayat Tasybih
Tangan tuhan menurut bazdawi sifat bukan anggota badan Tuhan yaitu sama dengan sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan.
6.      Ru’yatullah
Dalam hal ini Bazdawi sependapat dengan Asy’ari bahwa tidak mustahil Tuhan dapat dilihat nanti dengan mata kepala di akhirat. Ia dilihat nanti menerut apa yang dikehendaki Nya.
7.      Al Quran
Bazdawi mengemukakan bahwa Al Quran bukanlah sabda tuhan, tapi merupakan tanda dari sabda tuhan. Al Quran disebut sabda (kalam) Tuhan hanya dalam arti kiasan, bukan dalam arti yang sebenarnya.
2.      Abu Mansur Al-Maturidi
Nama lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud. Tokoh yang dikenal dengan nama Abu Manshur al-maturidi ini dilahirkan dimaturid, sebuah kota kecil disamarkand, Wilayah Trmsoxiana da Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M, Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.
Dasar pemikiran/ cara berfikir maturidi sejalan dengan hanafi. Adapun pokok pikirannya dalam teologi antara lain:

a.       Masalah Iman
Imam adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati, serta ikrar itu adalah rukun dari iman itu atau bagian dari iman. 
b.      Qadha dan Qadar dalam hubungannya dengan perbuatan manusia.
Pada dasarnya menutur maturidi kemauan manusia itu sebenarnya adalah kemauan Allah, akan tetapi segala perbuatan manusia itu tidak selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab Dia selalu menghendaki yang baik, bukan yang tidak baik. Dengan kata lain daya (qudrat) dapat digunakan manusia untuk berbuat baik atau jahat, sedangkan Allah menghendaki yang baik saja. Jadi dalam hal ini ada perbedaan dengan pendapat  imam Asy’ari dan lebih cenderung pada pendapat Mu’tazilah.
c.       Tentang sifat Tuhan,
Maturidi membatasi permasalahannya, sifat-sifat Tuhan adalah Sifat-Nya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Walaupun imam Maturidi masih di golongkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, akan tetapi bila diteliti lebih mendalam terdapat dugaan yang kuat bahwa Imam Maturidi ingin mengambil jalan tengah antara pendapat Imam Asy’ari dengan Mu’tazilah. Dugaan ini dikuatkan bahwa dalam beberapa segi pendapat maturidi sejalan dengan pendapat Mu’tazilah atau Imam Asy’ari dan sebaliknya dalam segi lainnya ada yang bertentangan pendapat.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Al-Maturidiyah adalah salah satu aliran di dalam aqidah Islam yang muncul pada abad ke-19M. Aliran tersebut muncul didorong oleh suatu kebutuhan untuk mendamaikan pertentangan yang tajam antara kaum rasionalis ekstrimis dari Mu’tazilah dan kaum tektualis ekstrimis oleh pengikut Imam Ahmad Ibnu Hanbal.
2.      Al-Maturidiyah dibagi menjadi dua kelompok yaitu : al-Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Abu Hasan al Maturidi dan al-Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu Yusr al-Bazdawi.
3.       Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada umumnya berkisar tentang : kedudukan akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, sifat-sifat Tuhan, melihan Tuhan, kalam Tuhan, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar, kebangkitan di hari kiamat, mengenai iman dan perbuatan Tuhan.
4.        Pada dasarnya pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah Samarkand sama dengan al-Maturidiyah bukhara , akan tetapi corak pemikiran dapat kita lihat ketika membahas peranan akal dan wahyu, konsep perbuatan manusia dan Tuhan. Dalam hal ini al-Maturidiyah Samarkand lebih condong kepada pemikiran u’tazilah seangkan al-maturidiyah Bvukhara lebih condong kepada pemikiran Asy’ariyah.
5.      Pengaruh aliran al-Maturidiyah di dunia Islam memberi corak pemikiran dalam bentuk yang akomodatif. Pahan ini  sampai sekarang masih dikenal tetapi melebur bersama dengan paham Asy’ariyah yang lebih dikenal dengan aham Ahlu Sunnah. wal Jama’ah.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahan

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003),
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html



[1] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003), h. 167
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV Penerbit J-ART, 2005), h. 499
[3] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar