BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Penelusuran
pengalaman historis masa lampau menemukan bahwa persoalan kalam di dunia Islam
muncul dari suasana perbedaan politik. Setiap persoalan kalam muncul, lahir
pula beberapa pendapat dan paham saling berbeda, yang serta merta membentuk
aliran kalam.Muncul dari suasana perbedaan, ilmu kalam nampaknya terus
berkembang dinamis di dalam arus perbedaan berkesinambungan.
Sejak
perkembangannya yang mula-mula, perbedaan persepsi bahkan pertentangan paham
dalam ilmu kalam sudah biasa terjadi, dan tampaknya akan tetap selalu terjadi
didalam dinamika pemikiran Islam. Ini merupakan suatu fenomena ilmiah yang
wajar, sesuai dengan hakikat perkembangan umat manusia itu sendiri, yang secara
fitri cenderung berbeda. Sehingga dunia kalam kaya dengan berbagai aliran dan
corak pemikiran.
Aliran-aliran ini seakan terlahir dalam
lingkaran dialektika, yang muncul dari proses tesa, antitesa, dan sintesa, atau
bergerak secara alami dalam dinamika aksi, reaksi, dan kompromi. Seperti
terlihat, aksi Khawarij mengundang reaksi Murji’ah dan lahir upaya kompromi
atau jalan tengah Muktazilah, lalu mengundang reaksi Asy’ariyah dan akhirnya
melahirkan upaya kompromi Maturidiyah. Demikian pula aksi Qodariah melahirkan
reaksi Jabariyah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah aliran maturidiyah itu ?
2.
Tokoh-tokoh aliran maturidiyah
3.
Ajaran aliran maturidiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah
diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1] Di samping itu, dalam buku
terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri
aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan
sebagai nama aliran ini.
Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam
yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan
argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah
merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad
al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi
yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran
ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia,
tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah
berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan
dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal
harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran
Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam
penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat
yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas
pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang
ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan
untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati
walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat.
Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih,
yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan
penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat
tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan
bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama
pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi
pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak
karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka
itu ditolak.
B.
Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa
perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn
Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari
abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui
mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham
teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah.
Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan
teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari
abad ke tiga Hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya,
dan di antara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri
Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul
Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan
pendukung mazhab Syafi’i.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl
al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini
datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan
diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling
depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada
di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu
Hambal). Pada awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah)
dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian
meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah
di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan
yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut
pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor
pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam
Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan
Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari
aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah
iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah
(aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama)
dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah
kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam
pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu
merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu
juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan
Asy’ariyah”.
Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari
al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang
tuanya. Al-bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka
ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran
al-Maturudi, tapi terdapat pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham
dengan al-Maturudi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat
perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah
terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi
sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Dari paparan mengenai sejarah di atas, di sini para penulis
beropini bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal
al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi.
Beranjak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang.
Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama
pendirinya sendiri.
Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni
pemikiran-pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah
al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi,
al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran-pemikiran
al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang
diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan
adanya perbedaan-perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua
golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah
Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
C.
Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah
sebelum terpecah menjadi dua golongan, kita harus tahu konsep pemikiran
al-Maturudi terlebih dahulu yakni kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt.
mungkin di temukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah
memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah
Swt. memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan
bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran
diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid. Sesuai dengan
firman Allah Swt. berikut:
ARTINYA ”Dan Dia telah menundukkan
untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat)
daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jaatsiyah, 45:
13)[2]
Maka dari itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya
kurang lebih tiga ajaran yakni:
1.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan
sifat-sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka
juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam
pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya.
Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang
disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha
mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan nama-nama
bagi Dzat Allah Swt. Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah
Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar
Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula
terpisah dari Dzat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah
Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun
demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai
bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang
mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai
wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil
dan berjalan di atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada
yang muhkam. Misalnya, ia menginterpretasikan firman Allah Swt.:
Artinya: “Lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy…”(QS. Al-A’raf, 7:54)[21]. Ia menafsirkan dengan makna alternatif,
yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata,
lurus dan teratur.
Menurut pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat
Allah Swt. hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa
antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini,
jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
2.
Melihat Allah Swt.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat
dilihat, seperti firman Allah
Artinya: “ Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut,
al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini
dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan khusus.
Maka dari itu para penulis juga
setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi diperkuat dengan firman
Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut pendapat kami pada hari
kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang
beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah
yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari
kiamat.
3.
Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah
menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka
Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya,
jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa
mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan.
Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar, sebagaimana
Dia telah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)
Setelah Maturidiyah terpecah
menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran
maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran
ini, yakni sebagai-berikut:
1.
Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat
menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya
keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat
bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat
terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya
keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.[3]
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan
kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan
untuk orang musyrik. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surrah
An-Nissa’:48.
2.
Mengenai iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Ia
berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-hujurat 14:
Artinya: “orang-orang Arab Badui
itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi
Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 14)
Ayat tersebut di pahami
Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya
perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di ucapkan oleh lidah
dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan
lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan
pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang,
tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan
hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan
berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang
digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan
kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
3.
Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
4.
Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan
antara Maturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad,
yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan. Maturidiyah
Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang
yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang
yang berdosa besar. Adapun pandangan
Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin saja.
5.
Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri
manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam
arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat
tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan
Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak
mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta,
dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
bagi-Nya.
6.
Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai
sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil. Sedangkan golongan Samarkand
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam
menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi
jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka,
mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
7.
Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi
oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya
adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau
memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
D.
Sekte-sekte atau Aliran-Aliran
Maturidiyah
Berdasarkan beberapa referensi yang kami peroleh, aliran
Maturidiyah dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1.
Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi
sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana
pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.
Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang
dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam
aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah,
AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh
umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran
Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.
E.
Tokoh
tokoh aliran Maturidiyah
Tokoh yang sangat penting dari aliran
Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir
pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran
Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari
Al-Maturidi. Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah
satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang
buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini,
Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka
aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa
dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand
yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara
yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
1. Riwayat singkat Abu Al-Yusr Muhammad
Al-Badzawi
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu
golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan
golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
Tokoh
Maturidiyyah Bukhara adalah Abu Al Yurs Muhammad Al Bazdawi. Menurut Smani
Bazdawi lahir pada tahun 421 H. {tidak diketahui dimana dilahirkan}. Kakek
bazdawi adalah murid Maturidi, Bazdawi mempelajari ajaran-ajaran Maturidi
dari orang tuanya. Tidak diketahui dengan pasti di kota-kota mana Bazdawi
bermukim,kecuali disebutkan bahwa ia berada di Bukhara pada tahun
478 H / 1085 M, menjadi godhi di Samarkand pada tahun 481 H /1088 M. wafat di
Bukhara pada tahun 493 H / 1099 M. Ia adalah tokoh ulama yang dalam bidang fiqh
bermadzhab Hanaf
Pokok-Pokok
Pemikiran Al Bazdawi
1. Kemampuan
Akal Manusia
Dalam hal ini
Bazdawi sepaham dengan Maturidi yaitu akal mampu mengetahui adanya Tuhan dan
mengetahui baik dan buruk. Kendati demikian sebelum datangnya keterangan wahyu,
tidaklah ada kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan bersyukur kepadanya, serta
tidak ada kewajiban untuk mengerjakan perbuatan baik atau menjadi perbuatan
jahat. Kewajiban-kewajiban kata bazdawi ditentukan hanya oleh tuhan dan
ketentuan-ketentuan itu dapat diketahui melalui wahyu.
2. Perbuatan
Manusia
Al-Bazdawi
membedakan dengan jelas antara perbuatan Tuhan (Maf’ul) dengan perbuatan
manusia (Fi’l). menurut al bazdawi perbuatan tuhan itu adalah
menciptakan perbuatan manusia; sedangkan perbuatan manusia (daya) itu adalah
melakukan perbuatan Tuhan. Al Bazdawi
dalam hal ini mengambil contoh tentang duduk. Duduk adalah ciptaan Tuhan, namun
melakukan hal itu perwujudan daya manusia dalam bentuk perbuatan. Jadi duduknya
manusia pada suatu tempat duduk itu hakekatnya melakukan perbuatan ciptaan
Tuhan dan merupakan perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini
al Bazdawi (Maturidi Bukhara) tidak berbeda pendapat dengan Abu Mansur
(Maturidi Samarkand).
Mengenai
pendapat ini bazdawi dikritik oleh pihak lain. Dengan kritik ini bazdawi
menjadi ragu-ragu dalam mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan
manusia dalam arti yang sebenarnya. Akhirnya lagi-lagi golongan maturidiyah
bukhara daya manusia tidaklah efektif dalam mewujudkan perbuatannya, seperti
halnya juga dikatakan Asy’ari.
3. Kehendak
dan Kekuasaan Tuhan
Bazdawi
menegaskan bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki Nya dan menentukan segala-gala Nya, menurut kehendak Nya. Dan Tuhan
pasti memenuhi wa’adNya yakni memenuhi janji untuk memberi upah kepada orang
yang berbuat baik.
Al Bazdawi
dalam hal ini berpendapat : Tuhan tidak mungkin tidak memenuhi janjiNya
kepada manusia yang berbuat baik dan tidak mungkin pula meninggalkan ancamanNya
terhadap yang berbuat jahat. Karena tidak mungkin, maka dengan kata lain Tuhan
menjadi wajib memenuhi janji dan ancamanNya.
4. Sifat-sifat
Tuhan
Menurut
Bazdawi sifat-sifat tuhan itu kekal melalui kekuatan yang terdapat dalam dzat
Nya, dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri. Tuhan bersama sifat-sifat-Nya
kekal, tapi sifat-sifat itu tidaklah kekal karena diri mereka.
5. Ayat-ayat
Tasybih
Tangan tuhan
menurut bazdawi sifat bukan anggota badan Tuhan yaitu sama dengan sifat lain
seperti pengetahuan, daya dan kemauan.
6. Ru’yatullah
Dalam hal ini
Bazdawi sependapat dengan Asy’ari bahwa tidak mustahil Tuhan dapat dilihat
nanti dengan mata kepala di akhirat. Ia dilihat nanti menerut apa yang
dikehendaki Nya.
7. Al
Quran
Bazdawi
mengemukakan bahwa Al Quran bukanlah sabda tuhan, tapi merupakan tanda dari
sabda tuhan. Al Quran disebut sabda (kalam) Tuhan hanya dalam arti kiasan,
bukan dalam arti yang sebenarnya.
2. Abu
Mansur Al-Maturidi
Nama
lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud. Tokoh yang dikenal
dengan nama Abu Manshur al-maturidi ini dilahirkan dimaturid, sebuah kota kecil
disamarkand, Wilayah Trmsoxiana da Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut
Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan
sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M,
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia
wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang
memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.
Dasar pemikiran/ cara berfikir
maturidi sejalan dengan hanafi. Adapun pokok pikirannya dalam teologi antara
lain:
a. Masalah Iman
Imam
adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati, serta ikrar itu adalah
rukun dari iman itu atau bagian dari iman.
b. Qadha dan Qadar dalam hubungannya
dengan perbuatan manusia.
Pada
dasarnya menutur maturidi kemauan manusia itu sebenarnya adalah kemauan Allah,
akan tetapi segala perbuatan manusia itu tidak selamanya sesuai dengan kehendak
Tuhan,sebab Dia selalu menghendaki yang baik, bukan yang tidak baik. Dengan
kata lain daya (qudrat) dapat digunakan manusia untuk berbuat baik atau jahat,
sedangkan Allah menghendaki yang baik saja. Jadi dalam hal ini ada perbedaan
dengan pendapat imam Asy’ari dan lebih cenderung pada pendapat
Mu’tazilah.
c. Tentang sifat Tuhan,
Maturidi
membatasi permasalahannya, sifat-sifat Tuhan adalah Sifat-Nya tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Walaupun imam Maturidi masih di golongkan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah, akan tetapi bila diteliti lebih mendalam terdapat dugaan yang kuat
bahwa Imam Maturidi ingin mengambil jalan tengah antara pendapat Imam Asy’ari
dengan Mu’tazilah. Dugaan ini dikuatkan bahwa dalam beberapa segi pendapat
maturidi sejalan dengan pendapat Mu’tazilah atau Imam Asy’ari dan sebaliknya
dalam segi lainnya ada yang bertentangan pendapat.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Al-Maturidiyah
adalah salah satu aliran di dalam aqidah Islam yang muncul pada abad ke-19M.
Aliran tersebut muncul didorong oleh suatu kebutuhan untuk mendamaikan pertentangan
yang tajam antara kaum rasionalis ekstrimis dari Mu’tazilah dan kaum tektualis
ekstrimis oleh pengikut Imam Ahmad Ibnu Hanbal.
2. Al-Maturidiyah
dibagi menjadi dua kelompok yaitu : al-Maturidiyah Samarkand yang dipimpin
oleh Abu Hasan al Maturidi dan al-Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu
Yusr al-Bazdawi.
3. Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada
umumnya berkisar tentang : kedudukan akal dan wahyu, perbuatan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, sifat-sifat Tuhan, melihan Tuhan, kalam
Tuhan, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar, kebangkitan di hari kiamat,
mengenai iman dan perbuatan Tuhan.
4. Pada dasarnya
pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah Samarkand sama dengan al-Maturidiyah bukhara
, akan tetapi corak pemikiran dapat kita lihat ketika membahas peranan akal dan
wahyu, konsep perbuatan manusia dan Tuhan. Dalam hal ini al-Maturidiyah
Samarkand lebih condong kepada pemikiran u’tazilah seangkan al-maturidiyah
Bvukhara lebih condong kepada pemikiran Asy’ariyah.
5. Pengaruh aliran
al-Maturidiyah di dunia Islam memberi corak pemikiran dalam bentuk yang
akomodatif. Pahan ini sampai sekarang masih dikenal tetapi melebur
bersama dengan paham Asy’ariyah yang lebih dikenal dengan aham Ahlu Sunnah. wal
Jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahan
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta,
2003),
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2000),
http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/11/konsep-pemikiran-al-maturidiyah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar