Moment

Kamis, 09 Juni 2016

Makalah Al-Qur'an Hadist



KATA PENGANTAR
Assalmu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyuusunan makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing meminta masukannya demi perbaikan makalah di masa yang akan datang. Terimakasih sebelumnya.

Wassalamu’alaiku Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Penulis











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.......................................................................................... 3
Rumusan Masalah..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
a.       Pengertian Al-Qur’an............................................................................ 4
b.      Pengertian Hadis................................................................................... 6
c.       Kedudukan Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman……...8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
















BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Keistimewaan Al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab suci yang lain ialah kemurnian atau keaslian Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, agar tidak ada satupun ayat-Nya yang berubah. Sebagaimana ditgaskan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami pula-lah yang menjaganya”.

Dari Al-Qur’an pula ilmu-ilmu pengetahuan berkembang, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Sedangkan Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Fungsi hadis itu sendiri ialah sebagai penjelas apa yang ada dalam al-Qur’an. Jadi, kedudukan Hadis dalam bidang studi keislaman ialah menjelaskan secara terperinci apa yang ada di dalam al-Qur’an. Merupakan fungsi hadis lainnya ialah sebaga bukti atas ke-Rasulan Nabi Muhammad SAW .Pada makalah ini kami tidak menjelaskan kedudukan hadis dalam studi keIslaman, karena sudah sama-sama diketahui bahwa fungsi hadis itu sendiri ialah menjelaskan secara lebih terperinci dari ayat-ayat al-Qur’an.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Al-Quran?
2.      Pengertian Hadis?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Qur’an
Qara’a memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan Qira’ah, yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari Qara’a, Qira’atan, waqur’anan. Allah menjelaskan,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْ نَهُ فَتَّبِعْ قُرْءَا نَهُ(18)
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan (dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” (Al-Qiyamah: 17-18).
Qur’anah disini berarti qira’ah( bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah akar kata (masdar) menurut wazan (tasrif) dari kata fu’lan seperti “ghufran” dan “syukron”. Al-Qur’an adalah kitab yang berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dan sampai kepada kita melalui periwayatan yang tidak terputus atau tawattur.
Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri. Dan sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka jika mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Qur’an.[1]
“Dan apabila Al-Qur’an itu dibacakan, maka dengarlah bacaannya dan diamlah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Al-A’raf: 204).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam memiliki banyak fungsi antara lain, sebagai bukti atas kerasulan Muhammad SAW, Sebagai pedoman hidup manusia untuk membedakan yang hak dan yang batil (Al-Furqan). Dapat menjadi peringatan (Al-Dzikr) manakala manusia lalai dalam menjalankan syariat yang dititahkan Tuhan, dapat menjadi pemberi keterangan penjelasan (bayyin) ketika manusia mengalami kebuntuan dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi, dan sebgai petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariat, dan akhlak.[2]
Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia. Banyak dalil-dalil yang secara mutawatir diriwayatkan berkaitan dengan masalah ini, baik dari al-Qur’an maupun dari hadis, di antaranya,
“Katakanlah (hai Muhammad); Hai sekalian manusia! Sesungguhnya Aku adalah pesuruh Allah kepada kamu semua, (diutus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang menghidupkan dan mematikan. Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalmat-kalimatNya (kitab-kitabNya); ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.”(Al-A’raf: 158)
Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara penyampaian yang mutawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau perubahan apapun. Di antara gambaran tentang Jibril yang membawanya turun ialah, “Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibril yang amanah.” (Asy-Syu’ara’: 193)
Gambaran lainnya juga tentang Al-Qur’an,
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah (yang disampaikan oleh Jibril) Utusan yang mulia. Yang kuat, gagah, lagi berkedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arasy. Yang ditaati disana (dalam kalangan malaikat), dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi Muhammad) itu (wahai golongan yang menentang Islam), bukanlah orang gila (seperti yang kamu tuduh); Dan (Nabi Muhammad yakin bahwa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan di sangka buruk, tentang penyampaiannya mengenai perkara-perkara yang gaib.” (At-Takwir: 19-24)
“Bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, (yang senantiasa memberi ajaran dan pimpinan), yang tersimpan dalam kitab yang cukup terpelihara, yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih dan suci.”(Al-Waqi’ah: 77-79)[3]

B.     Pengertian Hadis
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis. Hadis dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut diatas dapat di lihat pada beberapa ayat al-qur’an, seperti QS. Al-Thur (52) : 34, QS. Al-Kahfi (18) : 6, dan QS. Al-Dhuha (93) : 11. Demikian pula dapat dilihat pada hadis berikut
يُو شِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُولَ هَذَا كِتَابُ أللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ مَنْ بَلَغَهُ عَنِّي حَدِيْثٌ فَكَذَبَ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ بِهِ ثَلاَثَةً, اللَّهُ وَ رَسُوْلَهُ وَالَّذِي حَدَثَ بِهِ
“Hampir-hampir ada seseorang diantara kamu yang akan mengatakan “ini kitab Allah” apa yang halal didalamnya kami halalkan dan apa yang diharamkan didalamnya kami haramkan. Ketahuilah barang siapa yang sampai kepadanya suatu hadis dariku kemudian dia mendustakannya, berati ia telah mendustakan tiga pihak, yakni Allah, Rasul, dan orang yang menyampaikan hadis tersebut”. [4]
Secara umum fungsi Hadis adalah untuk menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang sangat dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan). Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) Hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut[5]:
a.       Posisi hadis  memperkuat keterangan al-Qur’an (ta’kid).
b.      Hadis sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an. Penjelasan yang diberikan ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global (tafsil al-mujmal)
2.       Hadis mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang umum (takhshish al-‘amm)
3.      Membatasi kemut’lakan ayat al-Qur’an (taqyid al-muthlaq)
c.       Hadis mencabang dari pokok dalam al-Qur’an (tafri’ ‘ala al-ashl)
d.      Menciptakan hukum syari’at (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an, disebut bayan tasyri’
1.      Bentuk-bentuk Hadis
a.       Hadis Qauli : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berkaitan dengan akidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya.
b.      Hadis Fi’li : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.
c.       Hadis Taqriri : segala hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya.
d.      Hadis Hammi : hadis yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealsasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
e.       Hadis Ahwali : hadis yang berpa hal ihwal Nabi SAW yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.[6]
Ada beberapa istilah lain yang merupakan sinonim dari kata hadis, yaitu sunah, khabar, dan atsar.[7]
a.       Sunah : menurut bahasa adalah (al-sirah) yang artinya perjalanan atau sejarah baik atau buruk masih bersifat umum. Perbedaan hadis dan sunah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baharu sekali dikerjakan atau bahkan masih berupa azam (hadis wahmi) menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunah. Sunah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rasul.
b.      Khabar : menurut bahasa diartikan al-naba atau berita. Dari segi istilah muhadditsin identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi (baik secara marfu’ atau mawaquf dan atau maqthu’) baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Mayoritas ulama mengkhususkan hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedang Khabar sesuatu yang datang dari padanya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi, dan lain-lain. Dengan demikian khabar lebih umum daripada hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak sebaliknya.
c.       Atsar : menurut bahasa atsar diartikan peninggalan Nabi atau bekas sesuatu maksudnya peninggalan nabi atau diartikan al-manqul (yang dipindahkan dari Nabi). Jadi, Atsar lebih umum daripada Khabar, karena Atsar adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain, sedangkan Khabar adalah berita yang datang dari Nabi atau sahabat, sedangkan Atsar adalah yang datang dari Nabi atau dari sahabat, dan yang lain.[8]

C.     Kedudukan Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman
Dengan adanya Al-Qur’an, maka muncullah berbagai ilmu pengetahuan Islam. Karena ingin memahami isi kandungan Al-Qur’an, orang menciptakan ilmu Tafsir. Karena ingin mengerti maksud Al-Qur’an, orang bertanya pada Nabi Muhammad. Dan ucapan (penjelasan), atau perbuatan Nabi, atau penetapannya menjadi penjelasan maksud Al-Qur’an. Dengan demikian, muncul ilmu Hadis. Karena ingin mebaca al-Qur’an dengan benar sesuai dengan kaidah bahasa Arab, muncullah ilmu Nahwu/Sharaf. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an, seperti yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab, terdapat jiwa ayat-ayat yang mendorong terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu agama.
1.      Teologi Islam
Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terlihat dar keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul dikalangan masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa  pada semakin tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-Qur’an, status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Theologi terkadang dinamai pula Ilmu Tauhid, Ilmu Usluhuddin, Ilmu Aqaid dan Ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu usluhuddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai ilmu Aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapakan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan. [9]
Firman Allah SWT :
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا أمِنُوْا بِاللَّهِ وَ رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ° وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَ مَلَآئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَا لاً بَعِيْدًا . (النساء : 136)
“Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab terdahulu. Baang siapa yang kafir kepada  Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemdian maka sesungguhnya orng itu telah sesat jalan sejauh-jauhnya”. (Q.S al-Nisa, 4 : 136).[10]
2.      Ilmu Hukum (fiqh)
Fiqih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah Shalat, puasa, haji, dan sebagainya.[11]
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah praktis, diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dimaksud dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang sempurna dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman utama, bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.[12]
3.      Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.[13]
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh langsung hubungan dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada dihadirat Tuhan. Paham bahwa Tuhan dekat dengan menusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya mengatakan,
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ (البقرة : 186)
“jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil ia panggil Aku”.
Ayat 115 dari surat Al-Baqarah juga mengatakan :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (البقرة : 115)
“Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling dari situ (kamu jumpai) wajah Allah”.
Lebih tegas lagi dinyatakan dalam surat Qaf ayat 16 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَارِيْدِ. (ق:16)
“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri”.
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber bagi disiplin ilmu tasawuf.[14]
4.      Filsafat Islam
Filsafat islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat tradisional yakni berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadis secara tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya. Dari kedua kelompok tersebut nampak bahwa kelompok terakhir masih cukup kuat pengaruhnya di masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama. Kajian filsafat islam baru dilakukan sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke 20 ini. Sedangkan pada masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan pesantren, pemikiran filsafat masih dianggap terlarang, karena dapat melemahkan iman. Kalaupun di pesantren diajarkan logika, yang pada hakikatnya merupakan ilmu yang mengajarkan cara berpikir filosofis, namun hal ini tidak diterapkan, melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan.[15]
Dari segi bahasa, filsafat islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan islam. Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah.Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya kata islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur’an dan hadis.
Filsafat islam dapat diketahui melalui lima cirinya yaitu. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, filsafat islam berdasar pada ajaran islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan hadis. Dengan sifatnya yang demikian itu, filsafat islam berbeda dengan filsafat yunani atau filsafat barat yang pada umumnya semata-mata mengandalkan akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, filsafat islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang bersifat non materi, yang selanjutnya disebut bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia , kehidupan di akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya, kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat islam sejalan dengan perkembangan ajaran islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis, Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat islam dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan oleh orang-orang yang beragama islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn-Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan islam dan pendidikan islam.[16]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri. Dan sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka jika mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Qur’an.
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.











DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006


[1] Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka Al-Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
[2] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44
[3] Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Op. Cit., h.12 & 14
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993, h.1-2
[5] Achmad Gholib, Op. Cit., h.102-104
[6] Munzier Suparta, Op. Cit., h.18-22
[7] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta: Faza Media: 2006, cet ke-6, h.98-99
[8] Achmad Gholib, Ibid., h.100
[9] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT  RajaGrafindo Persada, 2006, h. 267-269
[10] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.142
[11] Ibid, h.295
[12] Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2005, cet-2, h.71.
[13] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 283
[14] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, cet ke-7, h.144-145
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.251
[16] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h.254-257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar