KATA PENGANTAR
Assalmu’alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyuusunan makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada para pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing meminta masukannya
demi perbaikan makalah di masa yang akan datang. Terimakasih sebelumnya.
Wassalamu’alaiku
Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................ 2
BAB
I PENDAHULUAN
Latar
Belakang.......................................................................................... 3
Rumusan
Masalah..................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
a.
Pengertian Al-Qur’an............................................................................ 4
b.
Pengertian Hadis................................................................................... 6
c. Kedudukan
Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman……...8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Di dalam
Al-Qur’an terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril.
Keistimewaan Al-Qur’an dibandingkan dengan kitab-kitab suci yang lain ialah
kemurnian atau keaslian Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah, agar tidak ada
satupun ayat-Nya yang berubah. Sebagaimana ditgaskan dalam Al-Qur’an, Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami
pula-lah yang menjaganya”.
Dari Al-Qur’an pula ilmu-ilmu pengetahuan berkembang, baik
ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama. Sedangkan Hadis adalah
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Fungsi hadis itu sendiri ialah sebagai
penjelas apa yang ada dalam al-Qur’an. Jadi, kedudukan Hadis dalam bidang studi
keislaman ialah menjelaskan secara terperinci apa yang ada di dalam al-Qur’an.
Merupakan fungsi hadis lainnya ialah sebaga bukti atas ke-Rasulan Nabi Muhammad
SAW .Pada makalah ini kami tidak menjelaskan kedudukan hadis dalam studi
keIslaman, karena sudah sama-sama diketahui bahwa fungsi hadis itu sendiri
ialah menjelaskan secara lebih terperinci dari ayat-ayat al-Qur’an.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Al-Quran?
2. Pengertian Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
Qara’a
memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ungkapan kata
yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan Qira’ah, yaitu akar kata
(masdar-infinitif) dari Qara’a, Qira’atan, waqur’anan. Allah menjelaskan,
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ
وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْ نَهُ فَتَّبِعْ قُرْءَا نَهُ(18)
“Sesungguhnya Kami-lah yang bertanggung jawab mengumpulkan
(dalam dadamu) dan membacakannya (pada lidahmu). Maka apabila Kami telah
menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan jibril), maka bacalah
menurut bacaannya itu.” (Al-Qiyamah:
17-18).
Qur’anah disini berarti qira’ah( bacaan atau cara
membacanya). Jadi kata itu adalah akar kata (masdar) menurut wazan (tasrif)
dari kata fu’lan seperti “ghufran” dan “syukron”. Al-Qur’an adalah kitab yang
berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab dan
sampai kepada kita melalui periwayatan yang tidak terputus atau tawattur.
Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang
diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri.
Dan sebutan Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh
kandungannya, tapi juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan
kepadanya. Maka jika mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka
dibenarkan mengatakan bahwa si pembaca itu membaca Al-Qur’an.[1]
“Dan apabila Al-Qur’an itu dibacakan, maka dengarlah
bacaannya dan diamlah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Al-A’raf: 204).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam memiliki banyak
fungsi antara lain, sebagai bukti atas kerasulan Muhammad SAW, Sebagai pedoman
hidup manusia untuk membedakan yang hak dan yang batil (Al-Furqan). Dapat
menjadi peringatan (Al-Dzikr) manakala manusia lalai dalam menjalankan syariat
yang dititahkan Tuhan, dapat menjadi pemberi keterangan penjelasan (bayyin)
ketika manusia mengalami kebuntuan dalam menghadapi segala persoalan yang
dihadapi, dan sebgai petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariat, dan
akhlak.[2]
Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia.
Banyak dalil-dalil yang secara mutawatir diriwayatkan berkaitan dengan masalah
ini, baik dari al-Qur’an maupun dari hadis, di antaranya,
“Katakanlah (hai Muhammad); Hai sekalian manusia!
Sesungguhnya Aku adalah pesuruh Allah kepada kamu semua, (diutus oleh Allah)
yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia yang menghidupkan dan mematikan. Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan
kalmat-kalimatNya (kitab-kitabNya); ikutilah dia, supaya kamu mendapat
hidayah.”(Al-A’raf:
158)
Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan
cara penyampaian yang mutawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau
perubahan apapun. Di antara gambaran tentang Jibril yang membawanya turun
ialah, “Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibril yang amanah.”
(Asy-Syu’ara’: 193)
Gambaran lainnya juga tentang Al-Qur’an,
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah (yang
disampaikan oleh Jibril) Utusan yang mulia. Yang kuat, gagah, lagi berkedudukan
tinggi disisi Allah yang mempunyai Arasy. Yang ditaati disana (dalam kalangan
malaikat), dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi Muhammad) itu (wahai
golongan yang menentang Islam), bukanlah orang gila (seperti yang kamu tuduh);
Dan (Nabi Muhammad yakin bahwa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari
Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki
langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan
di sangka buruk, tentang penyampaiannya mengenai perkara-perkara yang gaib.” (At-Takwir: 19-24)
“Bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah
Al-Qur’an yang mulia, (yang senantiasa memberi ajaran dan pimpinan), yang
tersimpan dalam kitab yang cukup terpelihara, yang tidak disentuh melainkan
oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih dan suci.”(Al-Waqi’ah: 77-79)[3]
B.
Pengertian Hadis
Hadis atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya
sesuatu yang baru – lawan dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti
menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang
baru masuk/memeluk agama islam). Hadis juga sering disebut dengan al-khabar
yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis. Hadis dengan
pengertian khabar sebagaimana tersebut diatas dapat di lihat pada beberapa ayat
al-qur’an, seperti QS. Al-Thur (52) : 34, QS. Al-Kahfi (18) : 6, dan QS.
Al-Dhuha (93) : 11. Demikian pula dapat dilihat pada hadis berikut
يُو شِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقُولَ
هَذَا كِتَابُ أللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا
وَجَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلاَ مَنْ بَلَغَهُ عَنِّي حَدِيْثٌ
فَكَذَبَ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ بِهِ ثَلاَثَةً, اللَّهُ وَ رَسُوْلَهُ وَالَّذِي
حَدَثَ بِهِ
“Hampir-hampir ada seseorang diantara kamu yang akan
mengatakan “ini kitab Allah” apa yang halal didalamnya kami halalkan dan apa
yang diharamkan didalamnya kami haramkan. Ketahuilah barang siapa yang sampai
kepadanya suatu hadis dariku kemudian dia mendustakannya, berati ia telah
mendustakan tiga pihak, yakni Allah, Rasul, dan orang yang menyampaikan hadis
tersebut”. [4]
Secara umum fungsi Hadis adalah untuk menjelaskan makna
kandungan Al-Qur’an yang sangat dalam dan global atau li al-bayan
(menjelaskan). Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke
berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi
penjelasan (bayan) Hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut[5]:
a.
Posisi
hadis memperkuat keterangan
al-Qur’an (ta’kid).
b.
Hadis
sebagai penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an. Penjelasan yang diberikan
ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.
Memberi
penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global (tafsil
al-mujmal)
2.
Hadis mengkhususkan ayat-ayat
al-Qur’an yang umum (takhshish al-‘amm)
3.
Membatasi
kemut’lakan ayat al-Qur’an (taqyid al-muthlaq)
c.
Hadis
mencabang dari pokok dalam al-Qur’an (tafri’ ‘ala al-ashl)
d.
Menciptakan
hukum syari’at (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an, disebut bayan
tasyri’
1. Bentuk-bentuk Hadis
a.
Hadis
Qauli : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau
ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang
berkaitan dengan akidah, syari’ah, akhlak, maupun yang lainnya.
b.
Hadis
Fi’li : segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai
kepada kita.
c.
Hadis
Taqriri : segala hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang
dari sahabatnya.
d.
Hadis
Hammi : hadis yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealsasikan, seperti
halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura.
e.
Hadis
Ahwali : hadis yang berpa hal ihwal Nabi SAW yang menyangkut keadaan fisik,
sifat-sifat dan kepribadiannya.[6]
Ada beberapa istilah lain yang merupakan sinonim dari kata
hadis, yaitu sunah, khabar, dan atsar.[7]
a.
Sunah
: menurut bahasa adalah (al-sirah) yang artinya perjalanan atau sejarah
baik atau buruk masih bersifat umum. Perbedaan hadis dan sunah, jika
penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baharu sekali dikerjakan atau bahkan
masih berupa azam (hadis wahmi) menurut sebagian ulama disebut hadis bukan
sunah. Sunah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah
dilakukan Rasul.
b.
Khabar
: menurut bahasa diartikan al-naba atau berita. Dari segi istilah muhadditsin
identik dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
(baik secara marfu’ atau mawaquf dan atau maqthu’) baik
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Mayoritas ulama
mengkhususkan hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedang Khabar sesuatu
yang datang dari padanya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat
dahulu, para Nabi, dan lain-lain. Dengan demikian khabar lebih umum daripada
hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis adalah khabar dan tidak
sebaliknya.
c.
Atsar
: menurut bahasa atsar diartikan peninggalan Nabi atau bekas sesuatu maksudnya
peninggalan nabi atau diartikan al-manqul (yang dipindahkan dari Nabi). Jadi,
Atsar lebih umum daripada Khabar, karena Atsar adakalanya berita yang
datang dari Nabi dan dari yang lain, sedangkan Khabar adalah berita yang datang
dari Nabi atau sahabat, sedangkan Atsar adalah yang datang dari Nabi atau dari
sahabat, dan yang lain.[8]
C.
Kedudukan
Al-Qur’an dan Hadis dalam Studi Ilmu Keislaman
Dengan
adanya Al-Qur’an, maka muncullah berbagai ilmu pengetahuan Islam. Karena ingin
memahami isi kandungan Al-Qur’an, orang menciptakan ilmu Tafsir. Karena ingin
mengerti maksud Al-Qur’an, orang bertanya pada Nabi Muhammad. Dan ucapan
(penjelasan), atau perbuatan Nabi, atau penetapannya menjadi penjelasan maksud
Al-Qur’an. Dengan demikian, muncul ilmu Hadis. Karena ingin mebaca al-Qur’an
dengan benar sesuai dengan kaidah bahasa Arab, muncullah ilmu Nahwu/Sharaf.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam al-Qur’an, seperti yang dikatakan
oleh M. Quraish Shihab, terdapat jiwa ayat-ayat yang mendorong terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu umum atau ilmu-ilmu agama.
1.
Teologi
Islam
Ilmu kalam
atau teologi termasuk salah satu bidang studi islam yang amat dikenal baik oleh
kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terlihat dar
keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul
dikalangan masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu
kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan
kepercayaaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan salaf dan ahli sunnah. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu
teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan
serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufur, musyrik, murtad, masalah
kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang
membawa pada semakin tebal dan tipisnya
iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-Qur’an, status
orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan
ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Theologi terkadang dinamai pula Ilmu
Tauhid, Ilmu Usluhuddin, Ilmu Aqaid dan Ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid,
karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu
Tuhan yaitu Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu usluhuddin karena ilmu ini
membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan,
dinamai ilmu Aqaid karena dengan ilmu ini seseorang diharapakan agar meyakini
dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai
Tuhan. [9]
Firman Allah SWT :
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوا
أمِنُوْا بِاللَّهِ وَ رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ° وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَ مَلَآئِكَتِهِ
وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَا لاً بَعِيْدًا .
(النساء : 136)
“Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, dan kepada
kitab-kitab terdahulu. Baang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemdian maka sesungguhnya orng itu
telah sesat jalan sejauh-jauhnya”. (Q.S al-Nisa, 4 : 136).[10]
2.
Ilmu
Hukum (fiqh)
Fiqih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang studi
Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih
terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan
meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya
yang harus bertanggung jawab memberi nafkah terhadap dirinya, siapa yang
menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena
sifat dan fungsinya yang demikian itu, maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu
al-hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia,
dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang
baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah
Shalat, puasa, haji, dan sebagainya.[11]
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan
sebagai ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
praktis, diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dimaksud
dalam definisi tersebut antara lain bersumber pada Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai
wahyu Allah yang sempurna dan terakhir untuk manusia, harus dijadikan pedoman
utama, bahkan tunggal bagi manusia sebagai sumber hukum.[12]
3.
Ilmu
Tasawuf
Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah
yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah. Islam
sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas
berbagai kebutuhan manusia selain menghendaki kebersihan lahiriah juga
menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam
Islam diberikan pada aspek batinnya.[13]
Tasawuf
atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar memperoleh langsung hubungan
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada dihadirat Tuhan. Paham
bahwa Tuhan dekat dengan menusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu
terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Ayat 186 surat Al-Baqarah misalnya
mengatakan,
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ (البقرة : 186)
“jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu
tentang diri-Ku, Aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil
ia panggil Aku”.
Ayat 115 dari surat Al-Baqarah juga mengatakan :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
(البقرة : 115)
“Timur dan Barat kepunyaan Allah,
maka kemana saja kamu berpaling dari situ (kamu jumpai) wajah Allah”.
Lebih tegas lagi dinyatakan dalam
surat Qaf ayat 16 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الاِنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَارِيْدِ. (ق:16)
“Sesungguhnya Kami menciptakan
manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat
kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri”.
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Al-Qur’an merupakan
sumber bagi disiplin ilmu tasawuf.[14]
4.
Filsafat
Islam
Filsafat islam merupakan salah satu
bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan pro dan kontra.
Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau
menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat
tradisional yakni berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadis
secara tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya.
Dari kedua kelompok tersebut nampak bahwa kelompok terakhir masih cukup kuat
pengaruhnya di masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama. Kajian filsafat
islam baru dilakukan sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke
20 ini. Sedangkan pada masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan
pesantren, pemikiran filsafat masih dianggap terlarang, karena dapat melemahkan
iman. Kalaupun di pesantren diajarkan logika, yang pada hakikatnya merupakan
ilmu yang mengajarkan cara berpikir filosofis, namun hal ini tidak diterapkan,
melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan.[15]
Dari segi bahasa, filsafat islam
terdiri dari gabungan kata filsafat dan islam. Kata filsafat berasal dari kata philo
yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau
hikmah.Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
Selanjutnya kata islam berasal dari
bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah
diri, serta memohon selamat dan sentosa. Selanjutnya Islam menjadi suatu
istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada
hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang
mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur’an dan hadis.
Filsafat islam dapat diketahui
melalui lima cirinya yaitu. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya,
filsafat islam berdasar pada ajaran islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan
hadis. Dengan sifatnya yang demikian itu, filsafat islam berbeda dengan
filsafat yunani atau filsafat barat yang pada umumnya semata-mata mengandalkan
akal pikiran (rasio). Kedua, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya,
filsafat islam mencakup pembahasan bidang fisika atau alam raya yang
selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain yang
bersifat non materi, yang selanjutnya disebut bidang metafisika, masalah
kehidupan di dunia , kehidupan di akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan
dan lain sebagainya, kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi
datangnya, filsafat islam sejalan dengan perkembangan ajaran islam itu sendiri,
tepatnya ketika bagian dari ajaran islam memerlukan penjelasan secara rasional
dan filosofis, Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat islam
dalam arti materi pemikiran filsafatnya, bukan kajian sejarahnya, disajikan
oleh orang-orang yang beragama islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Ghazali, Ibn-Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajjah. Kelima, dilihat dari segi
kedudukannya, filsafat islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya
seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan islam dan pendidikan
islam.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada
Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identitas diri. Dan sebutan
Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi
juga bagian daripada ayat-ayatnya juga dinisbahkan kepadanya. Maka jika
mendengar satu ayat Al-Qur’an dibaca misalnya, maka dibenarkan mengatakan bahwa
si pembaca itu membaca Al-Qur’an.
Hadis
atau al-hadits menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru – lawan
dari al-Qadim (lama) – artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat
atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/memeluk agama islam).
Hadis juga sering disebut dengan al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu
yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama
maknanya dengan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000
Munzier Suparta,
Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993
Syaikh Manna ‘
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta :Pustaka
Al-Kautsar;2011
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006
[1]
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta
:Pustaka Al-Kautsar;2011,cet ke-6, h.16
[2]
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2006, cet .ke-2, h.44
[3]
Syaikh Manna ‘ Al-Qaththan, Op. Cit., h.12 & 14
[4]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : RajaGrafindo Persada : 1993,
h.1-2
[5]
Achmad Gholib, Op. Cit., h.102-104
[6]
Munzier Suparta, Op. Cit., h.18-22
[7]
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta: Faza Media: 2006, cet ke-6, h.98-99
[8]
Achmad Gholib, Ibid., h.100
[9]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 267-269
[10]
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2000, cet ke-7, h.142
[11]
Ibid, h.295
[12]
Achmad Gholib, Studi Islam, Jakarta : Faza Media, 2005, cet-2, h.71.
[13]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2006, h. 283
[14]
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2000, cet ke-7, h.144-145
[15]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2006, h.251
[16]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2006, h.254-257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar