BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna
ucapan atau tuturan. Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut
seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti
halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak
mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada
yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada
juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh
banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik,
komunikasi, sastra dan sebagainya. Pembahasan wacana berkaitan erat dengan
pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat
produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan
berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal
bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi
seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema
(monolog dan paragraf). Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana
yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist
(kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada
struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai
rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna).
Wujud
wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis.
Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan
atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi
tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Berdasarkan uraian di atas, betapa pentingnya apa itu wacana
dan memahaminya supaya tidak terjadinya kesalah pahaman dalam pengertian
wacana, maka dari itu kami menbahas topik wacana.
2.
Rumusan
Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam makalah ini,
maka kami membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya:
- Pengertian wacana?
- Kedudukan Wacana?
- Macam – macam Wacana?
BAB II
PEMBAHASAN
- WACANA
Pengertian Wacana
Istilah Wacana secara etimologi, “wacana” berasal dari
bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya ‘berkata’, ‘berucap’ (Douglas,
1976:266). Bila dilihat dari jenisnya, maka kata wac dalam lingkup
morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m)
yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujaran’. Kata tersebut kemudian
mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul dibelakang
adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membedakan’ (nominalisasi). Jadi kata wacana
dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karangan
Wojowasito (1989:651), terdapat kata waca yang berarti ‘baca’, kata u/amaca
yang artinya ‘membaca’, pamacan (pembacaan), ang/mawacana
(berkata), wacaka (mengucapkan), dan wacana yang artinya
‘perkataan’. Kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks kalimat bahasa
Jawa Kuno berikut: “Nahan wuwus sang tapa sama madhura wacana dhara”
(Demikian sabda sang pandita, ramah sikap dan perkataananya).
Kata wacana secara umum mengacu pada artikel, percakapan,
atau dialog, karangan, pernyataan. Jika kita membaca Kamus Besar Bahasa
Indonesia maka wacana adalah bahan bacaan, percakapan atau tuturan. Kata
wacana digunakan sebagai istilah yang merupakan padangan dari istilah discourse
dalam bahasa Inggris.
- Wacana, Discourse, Discursus
Oleh para ahli linguis Indonesia dan negara-negara berbahasa
Melayu lainya, istilah wacana sebagai mana diuraikan diatas, dikenalkan dan
digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahas Inggris ‘discourse’
(Dede Oetomo, 1993:3). Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin ‘discursus’
yang berarti ‘lari ke sana kemari’, ‘lari bolak-balik’. Kata ini dituturkan
dari ‘dis’ (dari/dalam arah yang berbeda) dan ‘currere’ (lari).
Jadi discursus berarti ‘lari dari arah yang berbeda’. Perkembangan asal
usul kata itu dapat digambarkan sebagai berikut.
Dis + curere → discursus → discourse (wacana)
Webster (1983:522) memperluas makna discourse sebagai
berikut: (1) Komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, (3) risalah
tulis, ceramah dan sebagainya. Penjelasan itu mengisyaratkan bahwa discourse
berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif, baik secara lisan
maupun tulisan.
Unsur
pembeda antara ‘bentuk wacana’ dengan ‘bentuk bukan wacana’ adalah pada ada
tindakanya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya. Oleh
karenanya, kriteria yang relatif paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan
maknanya. Ketika seseorang di suatu warung makan mengatakan:
- “Soto, es jeruk, dua.”
Ucapan itu dapat dimaknai sebagai wacana karena mengandung
keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu tersirat dalam hal-hal berikut: 1)
urutan kata ditata secara teratur, 2) makna dan amanatnya berkesinambungan, 3)
diucapkan ditempat yang sesuai (kontekstual), dan 4) antara penyapa dan pesapa
saling dapat memahami makna tuturan singkat tersebut (mutual intelligibility).
Selanjutnya,
mari kita perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
- Jaman sekarang disebut sebagai jaman modern. Sekarang ini banyak orang bingung tidak tahu jalan. Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk (2) di atas
sangat jelas dan mudah dipahami. Bahkan, terdapat alat kohesi (repetisi) antar
kalimat. Misalnya jaman sekarang – sekarang ini, tidak tahu jalan – jalan
tol. Akan tetapi bentuk tersebut bukan wacana. Hal itu disebabkan, secara
keseluruhan bentuk tadi tidak memiliki hubungan makna antar kalimat. Tiap-tiap
kalimat berdiri sendiri. Artinya, makna kalimat tersebut satu sama lain
terputus. Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit
dimengerti kaitan makna antar kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.
Contoh
tersebut kiranya menjelaskan apa yang dikatan para ahli bahasa tentang wacana.
Anton M. Moeliono (1988:334), mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat
yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam
kesatuan makna. Disamping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap,
yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan
terbesar.
Menurut Harimurti Kridalaksana (1985:184), wacana adalah
satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal
atau satuan bahas tertinggi dan terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam
bentuk kata, karangan utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya),
paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Adapun Samsuri
(1988:1) memandang wacana dari segi komunikasi. Menurutnya dalam sebuah wacana,
terdapat konteks wacana, topik, kohesi dan koherensi. Kohesi adalah adanya
keterkaitan antar kalimat. Sedangkan Koherensi adalah adanya keterkaitan antar
ide-ide atau gagaan-gagasan kalimat.
HG Tarigan (1987:27) mengemukakan wacana adalah satuan
bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki
kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas,
berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Jadi, suatu
kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau
bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang
melingkupinya.
Jadi,
wacana adalah susunan ujaran yang merupakan satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi, saling berkaitan dengan koherensi dan kohesi berkesinambungan
membentuk satu kesatuan untuk tujuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun
tulisan.
- Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Dalam satuan kebahasaan atau hirarki kebahasaan, kedudukan
wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi (Harimurti
Kridalaksana, 1984:334). Hal ini disebabkan wacana – sebagai satuan gramatikal
dan sekaligus objek kajian linguistik mengandung semua unsur kebahasaan yang
diperlukan dalam segala bentuk komunikasi. Tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan
unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada dibawahnya, seperti fonem, morfem,
frasa, klausa, atau kalimat disamping itu, kajian wacana juga menganalisis
makna dan konteks pemakaiannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan
bagan dibawah ini.
2.Bagan
Kedudukan Wacana Dalam Satuan Kebahasaan
Bagan di atas menujukan bahwa semakin ke atas, satuan
kebahasaan akan semakin besar (melebar). Artinya, satuan kebahasaan yang ada di
bawah akan mencakup dan menjadi bagian dari satuan bahasa yang berada di atasnya.
Demikian seterusnya, hingga mencapai unit ‘wacana’ sebagai satuan kebahasaan
yang paling besar.
3.
Ragam Wacana
Pengelompokan wacana bergantung pada sudut pandang yang
digunakan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal
ada wacana monolog, dialog dan poligon. Sedangkan dilihat dari tujuan
komunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi.
Sedangkan dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan.
Berikut, penjelasan mengenai jenis-jenis atau ragam wacana yang telah
disebutkan tadi.
- Jenis wacana dilihat berdasarkan jumlah peserta
Dalam wacana ini yang terlibat pembicaraan dalam
berkomunikasi. Ada tiga jenis wacana berdasarkan wacana jumlah peserta yang
ikut ambil bagian sebagai pembicaraan, yaitu monolog, dialog, dan polilog.
- Wacana Monolog
Pada wacana monolog, pendengar tidak memberikan tanggapan
secara langsung atas ucapan pembicara. Pembicara mempunyai kebebasan untuk
menggunakan waktunya, tanpa diselingi oleh mitra tuturnya. Contoh dari wacana
monolog adalah ceramah, pidato.
- Wacana Dialog
Kemudian, apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang
dan terjadi pergantian peran (dari pembicaraan menjadi pendengar atau
sebaliknya), wacana yang dibentuknya disebut dialog. Contoh dari wacana dialog,
adalah antara dua orang yang sedang mengadakan perbincangan di sekolah.
Situasinya bisa resmi dan tidak resmi.
- Wacana Polilog
Adapun apabila peserta dalam komunikasi itu lebih dari dua
orang dan terjadi pergantian peran, wacana yang dihasilkan disebut polilog.
Contohnya adalah perbincangan antara beberapa orang dan mereka memiliki peran
pembicaraan dan pendengar. Situasinya pun bisa resmi dan tidak resmi.
- Jenis wacana ditinjau dari tujuan berkomunikasi
Wacana berdasarkan tujuan berkomunikasi, diantaranya wacana
argumentasi, persuasi, eksposisi, deskripsi, dan narasi. Untuk lebih jelasnya,
berikut penjelasan kelima wacana tersebut.
- Wacana Argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang
berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis dan emosional
(Rottenberg, 1988:9). Argumentasi adalah semacam bentuk wacana yang berusaha
membuktikan suatu kebenaran. Lebih jauh sebuah argumentasi berusaha
mempengaruhi serta mengubah sikap dan pendapat orang lain untuk menerima suatu
kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti mengenai objek yang diargumentasikan
itu. (Gorys Keraf, 1995:10) dilihat dari sudut proses berfikir adalah suatu
tindakan untuk membentuk penalaran dan menurunkan kesimpulan. Contoh wacana
argumentasi adalah :
Namun, yang menjadi kekawatiran adalah adanya efek negatif
akibat dosis vitamin dan mineral yang dikonsumsi secara berlebihan, terutama
oleh mereka yang memiliki kondisi tubuh yang sehat. Sejumlah penelitian
mengungkapkan bahwa multivitamin tidak terbukti dapat mencegah timbulnya suatu
penyakit dan suplemen vitamin juga tiadak bisa memperbaiki gizi yang buruk
akibat pola makan yang sembarangan. Bahkan meminum jenis vitamin dan mineral
dalam dosis tinggi dalam jangka waktu panjang bisa memicu resiko timbulnya
penyakit tertentu. (Reader’s Digest Indonesia, Oktober 2004).
- Wacana Eksposisi
Wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca)
agar bersangkutan memahaminya. Eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang
berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan
pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek,
misalnya menjelaskan pengertian kebudayaan, komunikasi, perkebangan teknologi,
pertumbuhan ekonomi kepada pembaca. Wacana ini juga menyajikan penjelasan yang
akurat dan padu mengenai topik-topik yang rumit, seperti struktur negara atau
pemerintahan, teori tentang timbulnya suatu penyakit. Ia juga digunakan untuk
menjelaskan terjadinya sesuatu, beroprasinya sebuah alat dan sebagainya. Contoh
wacana eksposisi:
Agar
diperoleh hasil maksimal, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Sebelum melakukan pemutihan gigi, pasien perlu terlebih dahulu didiagnosis kondisi giginya, seperti enamel gigi harus bagus karena proses pemutihan berlangsung pada enamel gigi.
- Selain itu juga diperhatikan apakah gigi tersebut masih aktif atau tidak.
- Setelah melakukan pembersihan gigi, baru dokter akan mengarahkan untuk memilih produk yang sesuai untuk dipakai (“Tampilkan Gigi Putih Berseri”, Majalah Dewi No.5/XIII).
- Wacana Persuasi
Wacana persuasi adalah wacana yang bertujuan mempengaruhi
mitra tutur untuk melakukan perbuatan sesuai yang diharapkan penuturnya. Untuk
mempengaruhi pembacanya, biasanya digunakan segala daya upaya yang membuat
mitra tutur terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang
menggunakan alasan yang tidak rasional. Persuasi sesungguhnya merupakan
penyimpangan dari argumentasi, dan khusus berusaha mempengaruhi orang lain atau
para pembaca. Agar pendengar atau pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang
mengadakan persuasi, walaupun yang dipersuasi sebenarnya tidak terlalu percaya
akan apa yang dikatakannya itu. Persuasi lebih mengutamakan untuk menggunakan
atau memanfaatkan aspek-aspek pesikologis untuk mempengaruhi orang lain. Jenis
wacana persuasi yang paling sering kita temui adalah kampanye dan iklan. Contoh
wacana iklan sebagai berikut.
“pakai
Daia, lupakan yang lain. Dengan harga yang semurah ini, membersihkan tumpukan
pakaian kotor Anda, menjadi lebih bersih cemerlang”.
- Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang berusaha
menyajikan suatu objek atau suatu hal sedemikian rupa sehingga objek itu, sepertinya
dapat dilihat, dibayangkan oleh pembaca, seakan-akan pembaca dapar melihat
sendiri. Deskripsi memiliki fungsi membuat para pembacanya seolah melihat
barang-barang atau objeknya. Sebuah diskripsi mengenai rumah diharapkan
menyajikan banyak penampilan individu dan karakteristik dari rumah itu, dan
beberapa aspek yang dapat dianalisis, seperti besarnya, materi konstruksinya,
dan rancangan arsitekturnya. Secara singkat deskripsi bertujuan membuat para
pembaca menyadari apa yang diserap penulis melalui panca indranya, merangsang
perasaan pembaca mengenai apa yang digambarkan, menyajikan suatu kualitas
pengalaman langsung. Objek yang dideskripsikan mungkin sesuatu yang bisa
ditangkap dengan panca indra kita, sebuah hamparan sawah yang hijau dan pemandangan
yang indah, jalan-jalan kota, tikus-tikus selokan, wajah seorang yang cantik
molek atau seseorang yang bersedih hati, alunan musik atau gelegar guntur dan
sebagainya. Contoh:
Pada jeram pertama perahu besar berbalik arah, lalu memasuki
jeram ketiga dengan bagian buritan terlebih dahulu, sampai akhirnya… brak!
Perahu menghantam batu besar seukuran 4 x 3 meter, dan menempel pada batu dalam
keadaan miring. (“Jeram Maut,” Reader’s Digest Indonesia¸Oktober 2004).
- Wacana Narasi
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi
cerita. Pada wacana narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting, seperti
waktu, pelaku, peristiwa. Adanya aspek emosi yang dirasakan oleh pembaca atau
penerima. Melalui narasi, pembaca atau penerima pesan dapat membentuk citra atau
imajinasi. Contoh wacana narasi:
Sewaktu aku duduk di ruang pengadilan yang penuh sesak itu,
menunggu perkaraku disidangkan, dalam hatiku bertanya-tanya berapa banyak
orang-orang hari ini di sini yang merasa, seperti apa yang kurasakan bingung,
patah hati, dan sangat kesepian. Aku merasa seolah-olah aku memikul beban berat
seluruh dunia di pundaku.
- Jenis wacana dilihat dari bentuk saluran yang digunakan
Saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, bisa dibedakan
menjadi wacana lisan dan wacana tulisan. Wacana tulisan adalah rangkaian
kalimat yang ditranskripkan dari rekaman bahasa lisan. Adapun wacana tulis
adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam tulis. Adapun
contoh wacana lisan, misalnya percakapan, khotbah (spontan), dan siaran
langsung di radio atau TV. Sedangkan wacana tulis dapat kita temukan dalam
bentuk buku, berita koran, artikel, makalah.
4.
ALAT-ALAT
PEMBENTUK WACANA
Alat-alat pembentuk wacana merupakan unsur-unsur yang
membangun atau membentuk wacana. Alat-alat pembentuk wacana itu juga disebut
elemen-elemen wacana. Perhatikan contoh wacana berikut.
Cara Mudah Melawan Sters
- Kalau pikiran sedang jenuh, cobalah berjalan-jalan di taman. Jika anda suka, berkebunlah. Hasil penelitian menunjukan bahwa bercengkraman dengan bunga-bunga dan tanaman akan mampu meredam stres, rasa cemas, dan kegelisahan, serta membangkitkan rasa bahagia.
- Tidur, merupakan kesempatan terbaik bagi otak dan tubuh untuk beristirahat. Pastikan anda cukup tidur malam, apabila tidak bisa coba penuhi dengan tidur siang atau sekedar beristirahat di meja kerja anda. Tutup pintu, matikan lampu, dan pejamkan mata, bayangkan anda berada di tempat yang tenang, damai, dan indah.
- Setelah itu hadapi setres dengan belajar dan belajar. Mungkin saat sekolah kita sering merasa pusing belajar, tetapi ternyata jika Anda sudah bekerja, kegiatan belajar bisa jadi “pelarian” yang menyenangkan. Menurut American Jurnal of Health Promotion, mengambil kursus-kursus selain memperluas wawasan berfikir juga meningkatkan kesehatan jiwa.
- Dari pada mengeluh, lebih baik Anda melihat segala sesuatu dari sisi positifnya. Mereka yang percaya pada kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia, biasanya mampu melewati badai dalam hidupnya dengan lebih baik (diambil dari Majalah Fit9/VII/September 2003).
Elemen-elemen
yang terdapat dalam teks wacana contoh diatas, elemen yang pertama adalah judul
teks. Elemen kedua adalah tubuh teks. Tubuh teks terdiri dari 4 elemen, yaitu
paragraf 1, paragraf 2, paragraf 3, dan paragraf 4. Adapun persyaratan
gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang
di sebut adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut.
Bila wacana itu kohesif, akan terciptalah kekoherensian
yaitu isi wacana yang apik dan benar.Kekohensifan wacana itu dilakukan dengan
mengulang kata pembaruan pada kalimat (1) dengan kata pembaruan pada kalimat
(2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan kalimat
(3). Adanya pengulangan unsur yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi
koherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak
kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat
terbentunya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat
gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif
antara lain.
- Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubungan antar kalimat pertama dengan
kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan
sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misal diberi
konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
- Raja sakit dan permaisuri meninggal.
- Raja sakit karena permaisuri meninggal.
- Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
- Raja sakit sebelum permaisuri meninggal.
- Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
- Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal
- Mengunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforsis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforsis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan diganti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
- Mengunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang
kohesif dan koherens dapat juga dibuat dengan baebagai aspek semantik. Caranya, antara lain:
- Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
- Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
- Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa berbicara.
- Menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya spesifik – generik. Misalnya:
- Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
- Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu istirahat.
- Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
- Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
5.ANALISIS WACANA
Seperti dikatakan Stubbs (1983:1), analisis wacana merupakan
suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara
alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah
adalah bahwa penggunaan bahasa, seperti dalam komunikasi sehari-hari. Data
dalam wacana dapat berupa teks, baik teks lisan, maupun teks tulis. Teks
merujuk pada bentuk rangkaian kalimat atau ujaran. Istilah kalimat digunakan
dalam ragam bahasa tulis, sedangkan ujara digunakan untuk mangacu pada kalimat
dalam ragam bahasa lisan.
Dalam analisi wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip
interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah
interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik maupun konteks
nonlinguistik. Konteks non linguistik yang erupakan koteks lokal tidak hanya
berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan
partisipan. Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi
suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai.
Konteks yang diperhatikan adalah yang paling relevan saja dengan situasi yang
sedang berlangsung karena pengalaman terdahulu sudah cukup membantu untuk
memahami wacana.
Dalam analisis wacana juga terdapat istilah kohesi dan
koherensi. Istilah tersebut telah dibahas secara sekilas di awal. Kohesi
mengacu pada hubungan antar bagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh
penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Untuk menghubungkan informasi
antar kalimat. Contoh kata yang digunakan, seperti kata selain, sebab, ini,
itu, dan. Koherensi adalah kepaduan gagasan antar bagian dalam
wacana. Dalam sebuah wacana pada tiap kalimatnya terdapat gagasan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Istilah
wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Kata
wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak
asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan,
kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari
kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa
yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan.
Kata
wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa,
psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya. Wacana
merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis.
DAFTAR PUSTAKA
Anton
M. Moeliono (ed). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Douglas,
Mc. 1976. Sanskrit Dictionary. New York: Columbia University.
Keraf,
Gorys. 1995. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: Grasindo.
Kridaklaksana,
Harimurti. 1978. “Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra th. IV No.1.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
——-.
1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
——-.
1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Mulyana.
2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Oetomo,
Dede. 1993. “Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana”, dalam PELLBA 6. Yogyakarta:
Kanisius.
Rosdiana,
Yusi., dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Rottenberg,
Annette T. 1988. Elements of Arguments: A Text and Reader. New York: A
Bedford Books ST. Martin’s Press
Samsuri.
1988. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.