Suatu hari, Rasulullah SAW dan para sahabat berjalan di tengah padang pasir. Saat itu, panas sinar matahari terasa menyengat, seolah membakar tubuh, bahkan menelusup menembus ke lapisan kulit.
Tiba-tiba, seorang ibu tampak sedang menggendong bayinya. Sang ibu dengan penuh perhatian mendekap buah hatinya. Ia berusaha melindungi bayinya agar tak terkena panas matahari.
Melihat pemandangan ini, Rasulullah menghentikan langkah para sahabatnya. Seolah mendapat tamsil kasus yang tepat, beliau bertanya, "Wahai para sahabatku, akankah ibu itu melemparkan bayinya ke dalam api yang membara?" Para sahabat menjawab serentak, "Tidak mungkin, wahai Rasulullah."
Kemudian, Rasulullah bersabda, "Ketahuilah, kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu terhadap bayinya. Dia-lah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim!" (HR Bukhari-Muslim).
Kisah di atas mengajarkan bahwa sifat Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang beriman pada hari akhir adalah ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua asma Allah ini (ar-Rahman dan ar-Rahim) berasal dari kata arrahmah. Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa bahwa semua kata yang terdiri dari hurufra, ha, dan mim mengandung makna “lemah lembut, kasih sayang, dan kehalusan.”
Kata ar-Rahman berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab yang berakar dari kata kerja ra-ha-ma/, artinya ialah penyayang, pengasih, pencinta, pelindung, pengayom, dan para mufasir memberi penjelasan bahwa ar-Rahman dapat diartikan sebagai sifat kasih Allah pada seluruh makhluk-Nya di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya.
Dengan kasih-Nya ini, Sang Khalik mencukupkan semua kebutuhan hidup makhluk di alam semesta. Hanya saja, limpahan kasih ini hanya diberikan Allah pada semua mahluk selama hidup di dunia, di akhirat kelak kasih sayang ini hanya diberikan kepada orang beriman yang menjadi penghuni surga.
Sementara itu, ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) di dalam Alquran, Allah mengulangi kata ini sebanyak 228 kali, jauh lebih banyak dari asma Allah, ar-Rahman yang hanya disebutkan sebanyak 171 kali. Jika kata ar-Rahman sifatnya berlaku untuk seluruh manusia maka kata yang kedua ar-Rahim, sifat-Nya yang hanya berlaku pada situasi khusus dan untuk kaum tertentu semata.
Rahim juga disebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin. Di alam rahim inilah bermulanya kehidupan. Di alam rahim kehidupan ideal kita dijaga dan dipelihara. Bahkan, di alam rahim pula, setiap manusia dipersaksikan “apa dan ke mana” tujuan hidupnya.
Maka, tak heran apabila bayi dilahirkan, ia akan menangis, karena meninggalkan rahim yang melimpahkan sayang dan rasa aman. Di dalam sifat rahim Allah, kita akan hidup dengan aman, nyaman, penuh kemuliaan, sentosa, dan penuh keberkahan.
Maka, sebutlah nama-nama Tuhan yang indah, dalam setiap awal doa dan permintaan. Mereka yang selalu membasahi bibirnya dengan kata, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka Allah akan melimpahkan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Siapa saja dikasihi dan disayangi Allah. Maka, tak satu pun makhluk di dunia memiliki alasan untuk membenci kecuali mereka yang telah dikuasai nafsu angkara murka.
بِِسْمِ
اللَّهِ
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Dengan
Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
الرَّحْمَنِ
1. Tuhan Yang Maha Pengasih.
عَلَّمَ
الْقُرْآنَ
2. Dia mengajarkan Alquran.
خَلَقَ
الْإِنسَانَ
3. Dia menciptakan manusia.
عَلَّمَهُ
الْبَيَانَ
4. Dia mengajarinya perkataan fasih (bukti yang jelas).Yang Maha Pengasih (ar-Rahman) adalah salah satu sifat Allah. Setiap sifat adalah ayat, sebuah tanda yang menunjukkan keesaan Allah. Segala sesuatu dalam penciptaan selalu berkaitan dengan-Nya.
Untuk memahami, mengapresiasi, dan menghayati rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, manusia telah dianugerahi pengetahuan. Seseorang tidak dapat memahami sesuatu kecuali bila mengalaminya terlebih dahulu. Pengetahuan paling berharga dalam perjalanan hidup adalah pengetahuan Alquran. Hubungan manusia dengan Allah dijalin melalui Alquran, melalui kitab suci, melalui pengetahuan yang memungkinkan manusia melihat rahmat Allah yang serba meliputi. Makna hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. diciptakan sebelum diciptakannya Adam adalah bahwa cahaya jalan kebenaran sudah ada lebih dahulu sebelum Adam. Setelah Alquran, diciptakanlah manusia, Bani Adam. Dengan demikian, pengetahuan— cahaya Islam, cahaya Alquran—sudah ada lebih dahulu sebelum Allah menciptakan manusia (khalaqa al-insan).
Allah Yang Maha Pencipta benar-benar sangat mengetahui apa yang akan diciptakan-Nya. Makhluk paling mulia adalah wujud Muhammad, makhluk paling sempurna. Pengetahuan tentang produk akhirnya, makhluk paling mulia, wakil (khalifah) Allah, berada di tangan Zat Yang Maha Mengetahui (al-'Alim). Nur Muhammad sudah ada ketika Adam masih berbentuk air dan tanah liat. Tujuan penciptaan adalah menciptakan manusia sempurna, nabi terakhir, yang tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Setiap aspek ciptaan memiliki label Penciptanya. Penciptaan ada di dalam nama-Nya. Dengan ketentuan-Nya, rahmat-Nya dimanifestasikan sebagai pengetahuan tentang Alquran. Kemudian, rahmat-Nya pun menjadi tindakan kreasi—khalaqa al-insan—yang menimbulkan riak lebih besar melalui "bukti." Bayan bermakna bukti nyata yang memancar dari Yang Mahalembut, dengan menembus berbagai manifestasi fisik kasar yang menjadi orientasi persepsi manusia. Inilah pengetahuan tentang kesaksian. Segala sesuatu yang terlihat memberi kesaksian atas penciptanya dan juga ketundukannya kepada ketentuan Yang Maha Pengasih.
Pengetahuan tentang Alquran adalah pengetahuan tentang tauhid atau keesaan Allah. Dalam konteks ini, rahmat juga berarti tauhid Zat Yang Wahid, Yang Mahaesa. Akses kepada-Nya adalah melalui pengetahuan tentang ketentuan-Nya, yakni Kitab Suci. Penciptaan terjadi sesuai dengan ketentuan-Nya. Bayan adalah hasil dari hakikat penciptaan itu.
Manusia mencari bukti untuk segala sesuatu. Ia selalu mencari pengetahuan. Ia berusaha mengetahui berbagai sebab, akibat, dan bukti dari segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang acak; segala sesuatu meninggalkan jejak. Manusia adalah jejak sang Pencipta; manusia adalah bukti (hujjah)-Nya. Segala sesuatu dalam eksistensi-Nya adalah tanda kekuasaan Allah. Jika manusia mengenal dirinya sendiri, maka ia telah mengetahui makna ketuhanan (rububiyyah). "Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya" (man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar